Translate

Friday 27 September 2013

Sumber daya manusia dalam kebijakan perusahaan

Banyak perusahaan yang berangkat dalam
proses pengembangannya hanya melihat pada
aspek SDM (Sumber Daya Manusia) adalah
kebijakan yang bersifat biaya. Mengapa
dianggap demikian? Banyak perusahaan
melihat bahwa sumber daya manusia atau
karyawan di dalamnya adalah beban, mulai
dari penggajian, belum lagi kewajiban seperti
Jamsostek ataupun kewajiban untuk
memberikan tunjangan lainnya. Lalu muncul
suatu pemahaman bahwa sumber daya
manusia adalah suatu bentuk investasi yang
penting untuk dikelola sehingga definisi
human resources (sumber daya manusia)
menjadi human capital (investasi manusia).
Dalam proses pengembangan sumber daya
manusia, hal yang menjadi pertimbangan
penting dalam suatu perusahaan adalah
kebijakan yang diterapkan untuk
pengembangan manusia di mana disebutkan
karyawan yang bekerja dalam perusahan
memang bisa dikembangkan menjadi investasi
bagi perusahaan itu sendiri. Kebijakan yang
diterbitkan oleh perusahaan itu sendiri
haruslah memuat suatu kepentingan jangka
panjang yang nantinya dituntut adanya suatu
komitmen jangka panjang terhadap proses
pengembangan perusahaan itu sendiri.
Kebijakan yang diterbitkan oleh perusahaan
terhadap pengembangan sdm meliputi
kebijakan (1) Sistem numerasi (2) Sistem
manajemen performa (3) Sistem
pengembangan sumber daya manusia (4)
Sistem budgeting terhadap operasional dari
proses pengelolaan sumber daya manusia (5)
Peraturan perusahaan dan persyaratan yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya
manusia.
Salah satu kesalahan yang seringkali dilakukan
oleh perusahaan adalah kemampuan untuk
memastikan konsistensi kebijakan untuk
dijalankan. Hal apa yang menjadi alasan untuk
kemunculan ketidaksesuaian konsistensi dari
kebijakan itu sendiri? Pertama, situasi dan
kondisi yang menyebabkan penyimpanan
terhadap sistem dapat muncul dimana antara
kebutuhan untuk mengoptimalkan sdm ditekan
oleh adanya kebutuhan pengembangan sdm
itu sendiri. Sehingga dengan kondisi
”terpaksa” kebijakan terhadap sdm itu sendiri
dilanggar. Kedua, adanya conflict of interest
yang dimunculkan oleh oknum-oknum baik itu
internal perusahaan maupun dari pihak
manajemen itu sendiri yang menyebabkan
pelanggaran dengan sengaja dilakukan.
Ketiga, adanya perubahan dari manajemen
perusahaan yang menyebabkan kebijakan
sudah tidak memadai untuk menghadapi aspek
kompetisi dengan dunia luar.
Ketidakkonsistenan dalam menjalankan
manajemen sumber daya manusia dapat
menyebabkan bumerang yang dapat
membunuh strategi dalam perusahaan itu
sendiri. Dimana karyawan mulai
mempertanyakan konsistensi kebijakan
sumber daya manusia yang dijalankan
perusahaan. Konsep dan aspek adil di dalam
organisasi harus dapat memastikan bahwa
sistem kebijakan sumber daya manusia yang
dijalankan dapat mengembangkan dan
menumbuhkan persaingan yang positif dalam
perusahaan sehingga dapat meningkatkan
performa dari organisasi.
Suatu sistem yang baik, adalah sistem yang
dapat teraudit. Sistem manajemen sumber
daya manusia, harus dibangun dengan
mengikuti aturan ini. Sistem sumber daya
manusia yang tepat adalah sistem yang
dibangun dengan mengedepankan konsep
PDCA (Planning- Do- Check- Action). Apa yang
dimaksud dengan konsep tersebut.
(a) Planning
Dalam menyusun sistem harus ditetapkan
tujuan dari suatu sistem tersebut dibuat, serta
dijelaksanakn latar belakang yang
menjelaskan sistem tersebut dibangun.
Contoh: SOP (Standard Operating Procedure)
sistem rekruitmen (penerimaan karyawan).
Pada saat penyusunan sistem, harus dilihat
tujuan dari sistem tersebut dibangun, ruang
lingkup dari SOP itu sendiri meliputi jenis
rekruitmen internal atau eksternal maupun
aspek pengembangan sistem rekruitmen
lainnya.
(b) Do
Bagaimana sistem tersebut dijalankan. Seperti
menjelaskan pejabat mana yang memiliki
kewenangan untuk menjalankan proses ini,
lalu bagaimana proses tersebut dijalankan,
detail terhadap sistem dokumentasi tersebut
dijalankan juga menjadi bagian yang penting
untuk dijelaskan.
(c) Check
Bagaimana sistem tersebut dievaluasi maupun
diaudit untuk memastikan sistem tersebut
dijalankan. Suatu sistem yang baik harus
memastikan adanya proses verifikasi
(pemeriksaan ulang) ataupun validasi
(pengesahan). Seperti proses penyelesaian
sistem kompensasi, harus dipastikan adanya
mekanisme pemeriksaan sebelum proses
dijalankan. Setelah proses dijalankan pun juga
harus dipastikan adanya suatu proses
pemeriksaan yang intensif untuk memastikan
bahwa mekanismen evaluasi tersebut
dijalankan.
(d) Action
Penetapan tindakan perbaikan dan
pencegahan yang dilakukan untuk
mengantisipasi apabila sistem yang dimaksud
tidak dijalankan sesuai dengan standar
persyaratan yang telah ditetapkan.
Audit adalah salah satu bentuk dari proses
check itu sendiri. Sedikit berbeda
dibandingkan dengan konsep verifikasi dan
validasi. Dalam proses verifikasi dan validasi
proses dijalankan sebelum suatu bentuk
proses sudah dijalankan. Sehingga mencoba
dipastikan bahwa proses tersebut sudah
mengikuti aturan kesesuaiannya sebelum
diimplementasikan. Contoh adalah mekanisme
penggajian, dalam proses dan mekanisme
penggajian. Sebelum system penggajian
tersebut dijalankan harus dipastikan adanya
verifikasi dari pejabat yang berwenang,
mungkin di sini adalah HR & GA Manager yang
melakukan proses pemeriksaan terhadap
kesesuaian data kompensasi tersebut dan
kemudian pengesahan itu sendiri dijalankan
oleh Finance Accounting Manager sebagai
pejabat yang memiliki authorisasi untuk
melakukan proses transaksi.
Komitmen yang dikembangkan itu sendiri
meliputi:
(1) Sistem kompensasi
Sistem kompensasi memuat seluruh faktor
numerasi yang diterapkan oleh perusahaan.
Seperti bagaimana mekanisme penggajian
ditetapkan, apakah termuat informasi yang
terkait dengan pengemangan antara sistem
golongan jabatan dengan sistem penggajian
yang ditetapkan dalam perusahaan itu sendiri.
Apakah penyusunan sistem kompensasi
tersebut telah sesuai dengan konsep standar
persyaratan yang dimaksud. Tidak terdapat
penyimpangan yang terkait dengan sistem
numerasi yang dimaksud, seperti tata cara
pembayaran, bukti-bukti atau dokumen yang
dibutuhkan untuk mengembangakan sistem
kompensasi yang dimaksud. Lalu bagaimna
cara mengauditnya? Auditor dapat melakukan
proses memastikan kesesuaian antara
kebijakan dan proses pelepasan kompensasi
itu sendiri dijalankan. Dalam beberapa kasus,
juga dapat melakukan proses validasi dan
verifikasi terhadap individu yang menerima
transaksi tersebut.
(2) Sistem Manajemen Performa
Proses audit yang dijalankan adalah melihat
kesesuaian antara indikator yang mencapai
target tersebut ataupun realisasi yang terukur.
Konsep pemeriksaan lebih melihat pada aspek
obyektifitas dari sistem manajemen performa
yang dijalankan tersebut untuk melihat aspek
kesesuaian yang ada dalam konsep
pengukuran prestasi karyawan. Bukti-bukti
terdokumentasi harus diperiksa secara teliti
untuk melihat kesesuaian dan obyektifitas dari
penilaian.
(3) Sistem pengembangan sumber daya
manusa
Unit kerja SDM sangat erat peranannya dalam
proses pengembangan sumber daya manusia.
Audit pada area kerja ini memiliki fokus untuk
memastikan bahwa SOP pelatihan dijalankan.
Seperti proses dalam penyusunan program
pelatihan, individu yang menjalankan
pelatihan dan efektifitasnya. Nilai efektifitas
ini sangat penting untuk teraudit untuk
memastikan bahwa kondisi proses operasional
pengembangan sumber daya manusia telah
sejalan dan berbasis dengan kompetensi SDM
yang ada di lapangan.
(4) Sistem budgeting
Dalam proses pengembangan sumber daya
manusia, suatu perusahaan harus menerapkan
suatu konsep budgeting yang kemudian
dikembangkan menjadi bentuk pengembangan
strategis pelaksanaannya. Budgeting dari
proses ini harus dipastikan dijalankan sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Bagaimana proses yang memiliki alokasi
budget dijalankan.
(5) Peraturan perusahaan dan persyaratan
peraturan perundang-undangan
Mekanisme penyusunan peraturan adalah
suatu kebijakan strategis yang bersifat jangka
panjang dan terkait dengan peraturan dan
perundang-undangan. Hal yang sangat perlu
dicermati dalam proses pengembangan dan
penyusunan peraturan perundangan adalah
kesesuaian pelaksanaannya dan kesesuai
terhadap persyaratan peraturan dan
perundang-undangan.
Bagaimana dengan penjelasan audit yang
telah disampaikan, apabila masih diperlukan
pertimbangan lanjutan terhadap proses audit
ini. Konsultan kami akan siap membantu
dalam melakukan proses implementasi audit
SDM yang dijalankan di lapangan. Proses audit
ini nanti akan dilengkapi dengan laporan audit
yang nantinya sebaiknya ditindaklanjuti oleh
perusahaan.

http://konsultan-sdm.com/tag/standar-kompetensi-internal-auditor-manufaktur

Sumber daya manusia dalam kebijakan perusahaan

Banyak perusahaan yang berangkat dalam
proses pengembangannya hanya melihat pada
aspek SDM (Sumber Daya Manusia) adalah
kebijakan yang bersifat biaya. Mengapa
dianggap demikian? Banyak perusahaan
melihat bahwa sumber daya manusia atau
karyawan di dalamnya adalah beban, mulai
dari penggajian, belum lagi kewajiban seperti
Jamsostek ataupun kewajiban untuk
memberikan tunjangan lainnya. Lalu muncul
suatu pemahaman bahwa sumber daya
manusia adalah suatu bentuk investasi yang
penting untuk dikelola sehingga definisi
human resources (sumber daya manusia)
menjadi human capital (investasi manusia).
Dalam proses pengembangan sumber daya
manusia, hal yang menjadi pertimbangan
penting dalam suatu perusahaan adalah
kebijakan yang diterapkan untuk
pengembangan manusia di mana disebutkan
karyawan yang bekerja dalam perusahan
memang bisa dikembangkan menjadi investasi
bagi perusahaan itu sendiri. Kebijakan yang
diterbitkan oleh perusahaan itu sendiri
haruslah memuat suatu kepentingan jangka
panjang yang nantinya dituntut adanya suatu
komitmen jangka panjang terhadap proses
pengembangan perusahaan itu sendiri.
Kebijakan yang diterbitkan oleh perusahaan
terhadap pengembangan sdm meliputi
kebijakan (1) Sistem numerasi (2) Sistem
manajemen performa (3) Sistem
pengembangan sumber daya manusia (4)
Sistem budgeting terhadap operasional dari
proses pengelolaan sumber daya manusia (5)
Peraturan perusahaan dan persyaratan yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya
manusia.
Salah satu kesalahan yang seringkali dilakukan
oleh perusahaan adalah kemampuan untuk
memastikan konsistensi kebijakan untuk
dijalankan. Hal apa yang menjadi alasan untuk
kemunculan ketidaksesuaian konsistensi dari
kebijakan itu sendiri? Pertama, situasi dan
kondisi yang menyebabkan penyimpanan
terhadap sistem dapat muncul dimana antara
kebutuhan untuk mengoptimalkan sdm ditekan
oleh adanya kebutuhan pengembangan sdm
itu sendiri. Sehingga dengan kondisi
”terpaksa” kebijakan terhadap sdm itu sendiri
dilanggar. Kedua, adanya conflict of interest
yang dimunculkan oleh oknum-oknum baik itu
internal perusahaan maupun dari pihak
manajemen itu sendiri yang menyebabkan
pelanggaran dengan sengaja dilakukan.
Ketiga, adanya perubahan dari manajemen
perusahaan yang menyebabkan kebijakan
sudah tidak memadai untuk menghadapi aspek
kompetisi dengan dunia luar.
Ketidakkonsistenan dalam menjalankan
manajemen sumber daya manusia dapat
menyebabkan bumerang yang dapat
membunuh strategi dalam perusahaan itu
sendiri. Dimana karyawan mulai
mempertanyakan konsistensi kebijakan
sumber daya manusia yang dijalankan
perusahaan. Konsep dan aspek adil di dalam
organisasi harus dapat memastikan bahwa
sistem kebijakan sumber daya manusia yang
dijalankan dapat mengembangkan dan
menumbuhkan persaingan yang positif dalam
perusahaan sehingga dapat meningkatkan
performa dari organisasi.
Suatu sistem yang baik, adalah sistem yang
dapat teraudit. Sistem manajemen sumber
daya manusia, harus dibangun dengan
mengikuti aturan ini. Sistem sumber daya
manusia yang tepat adalah sistem yang
dibangun dengan mengedepankan konsep
PDCA (Planning- Do- Check- Action). Apa yang
dimaksud dengan konsep tersebut.
(a) Planning
Dalam menyusun sistem harus ditetapkan
tujuan dari suatu sistem tersebut dibuat, serta
dijelaksanakn latar belakang yang
menjelaskan sistem tersebut dibangun.
Contoh: SOP (Standard Operating Procedure)
sistem rekruitmen (penerimaan karyawan).
Pada saat penyusunan sistem, harus dilihat
tujuan dari sistem tersebut dibangun, ruang
lingkup dari SOP itu sendiri meliputi jenis
rekruitmen internal atau eksternal maupun
aspek pengembangan sistem rekruitmen
lainnya.
(b) Do
Bagaimana sistem tersebut dijalankan. Seperti
menjelaskan pejabat mana yang memiliki
kewenangan untuk menjalankan proses ini,
lalu bagaimana proses tersebut dijalankan,
detail terhadap sistem dokumentasi tersebut
dijalankan juga menjadi bagian yang penting
untuk dijelaskan.
(c) Check
Bagaimana sistem tersebut dievaluasi maupun
diaudit untuk memastikan sistem tersebut
dijalankan. Suatu sistem yang baik harus
memastikan adanya proses verifikasi
(pemeriksaan ulang) ataupun validasi
(pengesahan). Seperti proses penyelesaian
sistem kompensasi, harus dipastikan adanya
mekanisme pemeriksaan sebelum proses
dijalankan. Setelah proses dijalankan pun juga
harus dipastikan adanya suatu proses
pemeriksaan yang intensif untuk memastikan
bahwa mekanismen evaluasi tersebut
dijalankan.
(d) Action
Penetapan tindakan perbaikan dan
pencegahan yang dilakukan untuk
mengantisipasi apabila sistem yang dimaksud
tidak dijalankan sesuai dengan standar
persyaratan yang telah ditetapkan.
Audit adalah salah satu bentuk dari proses
check itu sendiri. Sedikit berbeda
dibandingkan dengan konsep verifikasi dan
validasi. Dalam proses verifikasi dan validasi
proses dijalankan sebelum suatu bentuk
proses sudah dijalankan. Sehingga mencoba
dipastikan bahwa proses tersebut sudah
mengikuti aturan kesesuaiannya sebelum
diimplementasikan. Contoh adalah mekanisme
penggajian, dalam proses dan mekanisme
penggajian. Sebelum system penggajian
tersebut dijalankan harus dipastikan adanya
verifikasi dari pejabat yang berwenang,
mungkin di sini adalah HR & GA Manager yang
melakukan proses pemeriksaan terhadap
kesesuaian data kompensasi tersebut dan
kemudian pengesahan itu sendiri dijalankan
oleh Finance Accounting Manager sebagai
pejabat yang memiliki authorisasi untuk
melakukan proses transaksi.
Komitmen yang dikembangkan itu sendiri
meliputi:
(1) Sistem kompensasi
Sistem kompensasi memuat seluruh faktor
numerasi yang diterapkan oleh perusahaan.
Seperti bagaimana mekanisme penggajian
ditetapkan, apakah termuat informasi yang
terkait dengan pengemangan antara sistem
golongan jabatan dengan sistem penggajian
yang ditetapkan dalam perusahaan itu sendiri.
Apakah penyusunan sistem kompensasi
tersebut telah sesuai dengan konsep standar
persyaratan yang dimaksud. Tidak terdapat
penyimpangan yang terkait dengan sistem
numerasi yang dimaksud, seperti tata cara
pembayaran, bukti-bukti atau dokumen yang
dibutuhkan untuk mengembangakan sistem
kompensasi yang dimaksud. Lalu bagaimna
cara mengauditnya? Auditor dapat melakukan
proses memastikan kesesuaian antara
kebijakan dan proses pelepasan kompensasi
itu sendiri dijalankan. Dalam beberapa kasus,
juga dapat melakukan proses validasi dan
verifikasi terhadap individu yang menerima
transaksi tersebut.
(2) Sistem Manajemen Performa
Proses audit yang dijalankan adalah melihat
kesesuaian antara indikator yang mencapai
target tersebut ataupun realisasi yang terukur.
Konsep pemeriksaan lebih melihat pada aspek
obyektifitas dari sistem manajemen performa
yang dijalankan tersebut untuk melihat aspek
kesesuaian yang ada dalam konsep
pengukuran prestasi karyawan. Bukti-bukti
terdokumentasi harus diperiksa secara teliti
untuk melihat kesesuaian dan obyektifitas dari
penilaian.
(3) Sistem pengembangan sumber daya
manusa
Unit kerja SDM sangat erat peranannya dalam
proses pengembangan sumber daya manusia.
Audit pada area kerja ini memiliki fokus untuk
memastikan bahwa SOP pelatihan dijalankan.
Seperti proses dalam penyusunan program
pelatihan, individu yang menjalankan
pelatihan dan efektifitasnya. Nilai efektifitas
ini sangat penting untuk teraudit untuk
memastikan bahwa kondisi proses operasional
pengembangan sumber daya manusia telah
sejalan dan berbasis dengan kompetensi SDM
yang ada di lapangan.
(4) Sistem budgeting
Dalam proses pengembangan sumber daya
manusia, suatu perusahaan harus menerapkan
suatu konsep budgeting yang kemudian
dikembangkan menjadi bentuk pengembangan
strategis pelaksanaannya. Budgeting dari
proses ini harus dipastikan dijalankan sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Bagaimana proses yang memiliki alokasi
budget dijalankan.
(5) Peraturan perusahaan dan persyaratan
peraturan perundang-undangan
Mekanisme penyusunan peraturan adalah
suatu kebijakan strategis yang bersifat jangka
panjang dan terkait dengan peraturan dan
perundang-undangan. Hal yang sangat perlu
dicermati dalam proses pengembangan dan
penyusunan peraturan perundangan adalah
kesesuaian pelaksanaannya dan kesesuai
terhadap persyaratan peraturan dan
perundang-undangan.
Bagaimana dengan penjelasan audit yang
telah disampaikan, apabila masih diperlukan
pertimbangan lanjutan terhadap proses audit
ini. Konsultan kami akan siap membantu
dalam melakukan proses implementasi audit
SDM yang dijalankan di lapangan. Proses audit
ini nanti akan dilengkapi dengan laporan audit
yang nantinya sebaiknya ditindaklanjuti oleh
perusahaan.

http://konsultan-sdm.com/tag/standar-kompetensi-internal-auditor-manufaktur

Monday 26 August 2013

Aapakah Caleg pavorit anda memenuhi syarat ?


Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012,
BAB VII, Bagian Kesatu tentang Persyaratan
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat
bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara
Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan,
sebagai berikut:
1. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis
dalam bahasa Indonesia.
5. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah
menengah atas, madrasah aliyah, sekolah
menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan,
atau pendidikan lain yang sederajat.
6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi
17 Agustus 1945.
7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
8. Sehat jasmani dan rohani.
9. Terdaftar sebagai pemilih.
10. Bersedia bekerja penuh waktu.
11. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah,
wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada
badan usaha milik negara dan/atau badan
usaha milik daerah atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara,
yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri
yang tidak dapat ditarik kembali.
12. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,
pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa
yang berhubungan dengan keuangan negara
serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan
sebagai pejabat negara lainnya, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada
badan usaha milik negara dan/atau badan
usaha milik daerah serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara.
14. Menjadi anggota Partai Politik Peserta
Pemilu.
15. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga
perwakilan; dan
16. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah
pemilihan.

Pada point 14 telah jelaas disebutkan, para calon legislatif harus menjadi anggota partai politik.Jadi untuk langkah strategis buruh dalam perjuangannya,kaum buruh harus memiliki perwakilan dalam pemerintahan. Dengan demikian buruh tidak perlu pusing untuk pemilihan dengan banyak partai, jadi yang terpenting adalah kita harus melihat/ mengenali integritas dan komitmen caleg pada perjuangan buruh Indonesia.

Saturday 24 August 2013

Kendala dalam Serikat Pekerja

Setiap Serikat pekerja pasti mempunyai tujuan yang sangat mulia,yaitu untuk memajukan ekonomi seluruh anggota dan ekonomi perusahaan dengan seadil-adilnya. Akan tetapi dalam perjalanan banyak sekali kendala yang didatangkan dari inernal ataupun eksternal. Untuk mengantisipasi setiap semua kendala yang ada,dalam struktur organisasi baik seluruh anggota ataupun pengurus harus antusias dan mempunyai kontribusi tinggi yang nyata kepada organisasi untuk mencapai hajat bersama. Banyak realita dan terdapat dalam tiap organisasi serikat pekerja dan mungkin trend dengan istilah PNS (penitip nasib sejati). Yaitu anggota ataupun bukan anggota yang banyak berharap dengan kinerja serikat pekerja akan tetapi tidak dapat memberikan kontribusi yang jelas dan banyak yang menganggap dengan membayar iuran mereka sudah cukup berkontribusi dan bisa terjamin atau terlindungi segala hak-haknya oleh SP.
Dari beberapa kali sharing atau pertemuan dengan beberapa pengurus serikat pekerja SP di tingkat perusahaan, saya mendapatkan gambaran bahwa ternyata banyak sekali permasalahan yang dihadapi oleh serikat pekerja yang justru menghambat kinerja dan profesionalitas serikat pekerja.
Beberapa diantaranya dapat di- inventarisir sebagai berikut:
1. Tidak adanya sarana prasarana dan dana fasilitas materi
2. Tidak adanya perhatian dari institusi pemerintah (dinas tenaga kerja)
3. Banyaknya peraturan perundangan yang merugikan.
4. Tekanan, ancaman dan intimidasi dari pengusaha
5. Belenggu beban kerja sehari-hari (tugas rutin) yang diberikan pengusaha kepada pengurus
6. Pengadministrasian / pencatatan keanggotaan yang amburadul.
7. Pengurus sibuk dengan problematika hidupnya sendiri (keluarga, bisnis dll)
8. Rendahnya sumber daya pengurus dan anggota, termasuk kurang memahami berbagai peraturan perundangan yang ada..
9. Tidak mempunyai agenda/program kerja yang jelas.
10. Tidak jelasnya status organisasi di tingkat perusahaan.
11. Salah memilih pengurus.
12. Lemahnya tingkat solidaritas dan “daya gempur“ di kalangan anggota .
13. Terlalu fokus terhadap kasus-kasus yang muncul, yang terkadang justru diciptakan pengusaha.
14. Merasa puas dengan keadaan (statis)
15. Sibuk mengutamakan kepentingan (kasus) nya sendiri-sendiri.
16. Khawatir dengan ide-ide/gagasan-gagasan baru.
17. Lemahnya kemampuan untuk memenfaatkan fasilitas yang ada.
18. Lemahnya jalinan kerjasama / networking dalam rangka merangkul stakeholder (Jamsostek, Dinas Tenaga Kerja, LSM-LSM, dll)
19. Terbuai dengan kerja lembur dan jabatan.
20. Terbuai dengan pinjaman-pinjaman, kredit-kredit, dan fasilitas dan kegiatan lain-lain yang diberikan pengusaha.
21. Minimnya pertemuan dan pembinaan terhadap anggota.
22. Pengkultusan terhadap pengurus.
23. Sentralisasi pengambil kebijakan organisasi
24. Hilangnya kepercayaan anggota.
25. Terpaku pada instuksi structural.
26. Kesemrawutan pembagian tugas dan spesialisasi para pengurus.
27. Status kerja kontrak serta Sulitnya mendapatkan ijin dari pimpinan perusahaan
28. Adanya orang-orang yang menjadi “musuh dalam selimut” dalam organisasi.
29. Masih banyaknya anggota bermental PNS..
30. Terlalu berharap terhadap pengurus, sementara yang lainya hanya ongkang-ongkang kaki.
31. Terlalu tunduk pada kebiasaan, hegemoni pengusaha ,institusi pemerintah dan perangkat organisasi.
32. Kurangnya pengalaman berorganisasi.
33. Kurangnya pembinaan, pendidikan, pelatihan terhadap pengurus.
34. Kekhawatiran terhadap teguran, hinaan, cercaan dari anggota dan pengusaha.
35. Kurangnya komunikasi diantara pengurus dan anggota.
36. Terjadi konflik, baik internal maupun antara pengurus dengan direksi/pengusaha.
37. Persaingan dengan serikat pekerja lain di lingkungan perusahaan.
38. Politik Adu domba yang dijalankan pengusaha.
39. Lemahnya kepekaan dan penelaahan terhadap kondisi ketenagakerjaan yang ada.
40. Ketidaksiapan (ketakutan) pengurus maupun lembaga untuk mengambil resiko
41. Lemahnya budaya mencatat dan korespondensi
42. Banyaknya anggota dan pengurus bermental individualism yang mengacu kepada popularitas.

Mungkin kendala diatas dari hasil sharing ini bisa mengkoreksi apa yang menjadi kendala kita dalam berorganisasi SP, sehingga kedepannya semua tujuan kita bersama dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan umumnya.
Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan lahir dan bhatin, dan selalu dalam perlindungannya.   Aamiin

BERBUATLAH KAWAN ...
KARENA DIAM ADALAH PENGKHIANATAN ...

Wednesday 21 August 2013

UPAH LAYAK ADALAH HAK SETIAP PEKERJA

Pengertian Upah Layak dapat ditelusuri dalam Undang – Undang 13 tahun 2003 pasal 88 yang menyatakan :
  • Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  • Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Upah layak merupakan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawan dan  keluarganya. Ini berarti bahwa pekerja mendapat uang yang cukup untuk membayar makanan, perumahan, pakaian dan layanan yang sangat diperlukan lainnya seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.  Bagian dari pendapatan untuk membayar kebutuhan lain yang juga sangat dibutuhkan dikenal sebagai pendapatan 'diskresi', karena pengeluaran untuk hidup didasari atas kebijakannya sendiri bagaimana setiap orang menggunakan upah yang telah diperoleh.  Misalnya, untuk pekerja yang berkeluarga dan memiliki anak, maka pendidikan anak merupakan suatu prioritas. Beda halnya dengan pekerja yang masih berstatus single.  Oleh karena itu, setiap orang harus memiliki pilihan untuk menghabiskan bagian dari pendapatan mereka dengan apa yang mereka suka atau butuhkan.
Upah Layak sebagai hak asasi manusia
Untuk memperoleh upah layak, karyawan tidak harus diminta untuk bekerja dengan jam kerja yang terlalu panjang.  Upah layak harus diperoleh selama jam kerja normal.  Apa yang dianggap 'jam kerja normal' bervariasi di setiap Negara. Namun, organisasi-organisasi internasional seperti ILO yang mendorong standar kerja yang layak, menyarankan bahwa ' jam kerja normal' tidak boleh melebihi 48 jam dalam seminggu. Tapi upah layak juga dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Hal ini dapat meningkat tidak hanya dengan inflasi (kenaikan harga yang berkelanjutan dari waktu ke waktu), tetapi juga dengan kemajuan ekonomi suatu negara.
Bank Dunia, OECD, ILO dan PBB mengakui upah layak menjadi hak asasi manusia.  Setiap individu yang bekerja untuk hidup harus memiliki hak untuk penghasilan yang mengamankan dia dan  keluarganya dalam standar hidup yang layak, dalam hal makanan, perumahan, sandang, pendidikan kesehatan, dan sarana kebutuhan hidup lainnya.
Tanggung jawab akan upah layak
Masyarakat internasional sepakat dan mendukung prinsip bahwa setiap orang yang bekerja harus mendapatkan upah layak. Namun, upah layak sering kali tidak dimasukkan dalam hukum nasional dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum. Pengusaha/perusahaan harus memahami bahwa sudah menjadi kepentingan pengusaha/perusahaan untuk membayar upah layak bagi para karyawannya.
Pekerja yang berpenghasilan cukup untuk kehidupan yang layak akan lebih percaya diri sendiri. Mereka bahagia menjalankan pekerjaan mereka, produktivitas mereka akan menjadi lebih tinggi, dan mereka lebih berdedikasi untuk perusahaan mereka. Pengusaha/perusahaan harus memahami keuntungan berkomitmen untuk membayar upah layak sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.
Upah  layak dan upah minimum
Apa perbedaan antara upah layak dan upah minimum? Upah layak biasanya akan lebih tinggi dari upah minimum. Upah minimum secara hukum diatur dalam negara-negara yang memiliki sebuah peraturan yang  ditegakkan oleh hukum (ada beberapa negara tanpa upah minimum). Di negara-negara dengan peraturan upah minimum, karyawan harus dibayar setidaknya sebesar upa minimum yang ditetapkan. Sebaliknya upah layak tidak diatur dalam hukum.  Ini adalah rekomendasi untuk mencapai standar hidup yang layak. Tapi apakah karyawan mendapatkan upah yang cukup untuk hidup layak tergantung pada sejumlah faktor. Faktor-faktor ini bervariasi di seluruh negara: misalnya biaya tenaga kerja, tingkat pengangguran, budaya kewirausahaan, tanggung jawab sosial, kemauan dan kemampuan untuk membayar upah yang adil untuk pekerjaan yang jujur​​.
Upah layak dan garis kemiskinan
Bagaimana upah layak berhubungan dengan kemiskinan di suatu negara? Upah layak dimaksudkan untuk mengamankan pekerja keluarganya dengan standar hidup yang layak. Upa layak setidaknya harus menjaga pekerja dan keluarganya keluar dari kemiskinan. Standar ini tentu saja bervariasi di setiap negara. Mengingat semua variasi ini, maka tidak mungkin dan tidak praktis untuk mencoba dan menghitung margin yang tepat antara tingkat upah layak dan garis kemiskinan. Upah layak adalah kewajiban moral dan pendapatan untuk pekerjaan yang telah dilakukan. Garis kemiskinan hanya dimaksudkan untuk mencegah orang kelaparan, bekerja atau tidak.

Monday 5 August 2013

7 Tips for Creating Children's Joy of Reading


For many children, reading or learning to read can be very challenging. Not a few children who have difficulty reading, but reading is important to open their doors to science.If your child has difficulty reading, do not despair and keep creating creative solutions to foster your child's interest in reading. You can also do the 16 things below, so that the baby is getting clever and diligent
reading.

Read aloud 
 Reading out loud and loud is the best and easiest way to improve vocabulary, fluency, and comprehension the child. In addition, listening to parents read the book also helps children to understand the story, even if they are not able to understand all the words. 

See image 
Children of all ages can benefit from looking at the pictures in picture books, because the images provide important clues that will help your child understand and anticipate certain words in the passage. For example, when you see the child in the picture and the written word "moon" in there, then he will recognize the word. Start with the image also helps children to focus more on the meaning of the story, because there are some children who are too focused on the letters so they actually do not understand the meaning of the story. In addition, images can also reduce frustration and increase their understanding of the child. 

Know what is normal 
Is your baby a 4-year-old has been good at reading? Or he's just having trouble understanding the letters? If your child is the latter, then no need to worry because it's normal. In fact, the two conditions above are both normal. Before the child enters the school year, they have to know the form of books and words contained in it, which is read from left to right. As people age, they will begin to recognize sounds, letters, and stories and start to guess the words. In the next stage, the child will experience growth like reading more words, even with a look, and they are also able to read with comprehension. 

Read alternating 
When reading stories to kids, let them read the conversations were also a certain character. Ask them to read aloud together with you. Read in this way will increase their understanding when reading. If your child can not read, ask her to explain the picture or give it questions about the page you have just read. 

Play on words 
Not a few children who have difficulty reading, which stops at the basic skills, ie to recognize letters and basic grammar. To improve their ability to read, you can make a simple game, such as making words rhyme, set the magnetic letters on the refrigerator, and other games that will make your child play with words and sounds. 

Sharing strategy 
Good readers typically begin to read by scanning the titles and subtitles, while poor readers often feel overwhelmed by the number of words that are, so that they will give up even before reading. Do not let your child become a second type of reader. For that, you explain to them how to approach a book or article. Know their preferences will make children love reading (Picture: fantasygalleryart.com) For example, when you read the newspaper, which you read first? The title or caption on the picture? Share this strategy will make their child not be afraid to look at the words that are so abundant of a book or other reading. 

Take advantage of their hobby 
What do kids like? Football? Barbie doll? Royal princesses are beautiful? Take advantage of their hobby to encourage children to love reading, because they are likely to read things they love would be bigger than you impose a reading on them. In addition, the use of books and reading that they like will help them to better understand what they already know, so with that background they will be easier to understand the existing literature.

Referensi 
Best sellers in Children's Books

Thursday 25 July 2013

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak
Saya karyawan kontrak yang sudah kurang lebih 6 tahun, tapi tiap setahun sekali perpanjangan kontrak, dan sesudah 2 tahun sekali libur 1 bulan. Bulan Mei lalu saya habis libur 1 bulan dan sudah masuk tanda tangan kontrak. Bagaimana dengan THR-nya? Mengingat masa kerja sudah 6 tahun meskipun tiap 2 tahun sekali diliburkan 1 bulan. Dan apakah menyalahi undang-undang sistem kontrak seperti itu? Terima kasih, mohon kejelasannya.

Sehubungan dengan permasalahan dan pertanyaan Saudara, saya mengawali dengan memberi komentar mengenai hubungan kerja Saudara sebagai “karyawan kontrak”, kemudian baru menjelaskan seputar hak Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) Saudara sekaligus menjelaskan ketentuan lain mengenai THR, sebagai berikut:
1. Ketentuan mengenai hubungan kerja melalui PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) -atau istilah Saudara, “karyawan kntrak”- merujuk pada Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003), bahwa PKWT atau “kontrak” hanya dapat dibuat (diperjanjikan) untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Ciri-cirinya, -antara lain- adalah:
a.    pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan
 
Ketentuan tersebut, dipertegas pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003 dan penjelasannya bahwa PKWT tidak dapat diadakan (diperjanjikan) untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yakni pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu, dan merupakan bagian dari sutu proses produksi dalam suatu perusahaan; atau pekerjaan yang bukan musiman.
 
Terkait dengan masalah Saudara -yang katanya- sudah berlangsung selama 6 (enam) tahun yang setiap tahunnya diperpanjang dan sesudah 2 (dua) tahun sekali diliburkan selama 1 (satu) bulan, maka dapat saya jelaskan -dengan memberikan opini- bahwa:
-    jika Saudara dipekerjakan melalui PKWT dan -memang- untuk suatu pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka sah-sah saja Saudara di-”kontrak” melalui PKWT oleh -manajemen- perusahaan dan -diperjanjikan- setiap tahun (sesuai kebutuhan). Terlebih, jika jenis pekerjaanya memang selalu berganti atau berpindah tempatnya ataukah -memang- sifat pekerjaannya temporary (tidak tetap).
-    Namun demikian, jika -sebaliknya- suatu pekerjaan memenuhi syarat sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, akan tetapi Saudara dipekerjakan melalui PKWT, maka menurut Pasal 59 ayat (7) UU No.13/2003 demi hukum berubah menjadi PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Artinya hak-hak Saudara, baik pada saat masih dalam hubungan kerja (termasuk hak THR) maupun pada saat berakhirnya hubungan kerja (seperti hak “pesangon”) berhak diperoleh pada saat timbulnya hak-hak dimaksud. Dalam arti, THR Saudara bukan diberikan secara proporsional, akan tetapi seharusnya utuh 1 (satu) bulan gaji seperti layaknya pekerja/buruh permanen melalui PKWTT.
 
2. Mengenai hak THR, pada dasarnya -memang- merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik “karyawan kontrak” (PKWT), maupun terhadap PKWTT (permanen). Walaupun -memang- ada perbedaan mengenai timbulnya hak THR terkait dengan -jangka waktu- saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yakni:
a.    Bagi seorang pekerja/buruh yang di-hire melalui PKWTT dan terputus hubungan kerjanya (PHK*) terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir -masih- dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan (“hari H”), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun -sebaliknya- jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari -kalender-, maka hak atas THR dimaksud gugur.
b.    Sedangkan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui PKWT, walau “kontrak” hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak THR. Artinya, bagi PKWT, tidak ada -toleransi- ketentuan mengenai batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksud. Jadi bagi pekerja/buruh melalui PKWT, -hanya- berhak atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja –sekurang-kurangnya- sampai dengan pada “hari H” suatu Hari Raya Keagamaan -sesuai agama yang dianut- pekerja/buruh yang bersangkutan
(lihat Pasal 1 huruf d jo Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 6 ayat [2] jo ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, selanjutnya disebut “Permen-04/Men/1994”).
 
Sebagai tambahan penjelasan dan -mungkin- sekedar me-refresh kembali ingatan kita, bahwa putusnya hubungan kerja (PHK) melalui PKWTT, dapat terjadi karena alasan-alasan, sebagai berikut:
a)    PHK karena kehendak pengusaha, misalnya PHK karena perubahan status (spin off atau split off), merger/konsolidasi, restrukturisasi dalam hal akuisisi atau efisiensi akibat reorganisasi dan likuidasi.
b)    PHK karena kemauan pekerja/buruh, seperti pengunduran diri atas kemauan sendiri (resign);
c)    PHK karena putusan/“penetapan” pengadilan, sesuai dengan saat yang ditentukan dalam putusan atau penetapan (yang -telah- berkekuatan hukum tetap); atau
d)    PHK yang terjadi demi hukum (otomatis), misalnya pekerja/buruh mencapai batas usia pensiun, meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu -yang ditentukan dalam- perjanjian kerja (PKWTT) dimaksud.
 
Saat terjadinya PHK seperti tersebut itulah yang menjadi titik poin perhitungan lamanya 30 (tiga puluh) hari dimaksud sampai dengan “hari H” Hari Raya Keagamaan. Jika saat itu masih dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka yang bersangkutan -masih- berhak atas THR. Namun sebaliknya, jika lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, maka tidak ada hak THR bagi yang bersangkutan.
Dengan demikian, berkenaan dengan masalah Saudara -yang setiap tahunnya di-”kontrak” dan selalu diperpanjang dengan waktu yang sama, -sehingga komulatif 2 (dua) tahun- dan telah berlangsung selama 6 (enam) tahun, maka tentu adakalanya Saudara mendapat THR secara proporsional, dan adakalanya full (normal), namun adakalanya mungkin tidak memperoleh sama sekali.
-    Manakala “kontrak” hubungan kerja Saudara (di awal) baru berlangsung lebih dari 3 (tiga) bulan saat “hari H” pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara hanya berhak THR secara proporsional;
-    Akan tetapi, apabila “kontrak” hubungan kerja Saudara sudah berlangsung lebih dari 1 (satu) tahun (termasuk perpanjangannya), maka saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, tentu Saudara berhak atas THR secara full (penuh).
-    Namun jika “kontrak” Saudara pada tahun berikutnya tidak “ketemu” bersamaan atau tidak melampaui saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara sama sekali tidak berhak atas THR dimaksud.

3. Berkenaan dengan penjelasan tersebut di atas, masih ada beberapa ketentuan THR yang (mungkin) perlu atau penting untuk dipahami semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh atau “serikat” dan termasuk masyarakat umum), yakni:
a. Perhitungan besaran hak THR pada masing-masing pekerja/buruh, adalah sebagai berikut:
1)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun -tetapi telah lebih dari 3 (tiga) bulan-, diberikan secara proporsional dengan rumus: “Masa Kerja x 1(satu) bulan upah dibagi 12”. Dengan kata lain, 1/12 x upah x lamanya masa kerja dalam bulan (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat [1] huruf b Permen-04/Men/1994);
2)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih (hingga tak terhingga), -hanya- berhak 1 (satu) bulan upah (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat (1) huruf a Permen-04/Men/1994).
b. Besaran nilai THR adalah 1 (satu) bulan gaji, yang (jika terdiri dari beberapa -item- komponen) meliputi upah pokok dan tunjangan tetap (vide Pasal 3 ayat [1] huruf a dan ayat [2] Permen-04/Men/1994).Namun dalam hal besarnya THR telah diatur dalam Perjanjian Kerja (PK) dan/atau Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama (PP/PKB) atau sesuai kebiasaan yang -nilainya- lebih besar dari nilai THR (secara normatif) sebagaimana tersebut di atas, maka THR yang dibayarkan adalah sesuai dengan PK dan/atau PP/PKB, atau kebiasaan yang telah dilakukan.
c.   Pembayaran THR dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum “hari H” pada Hari Raya Keagamaan dan pemberiannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja (buruh), yakni :
-     Hari Raya Idul Fitri, bagi pekerja (buruh) yang beragama Islam;
-     Hari Raya Natal, bagi pekerja (buruh) yang beragama Kristen Katholik dan Protestan;
-     Hari Raya Nyepi, bagi pekerja (buruh) yang beragama Hindu; dan
-     Hari Raya Waisak, bagi pekerja (buruh) yang beragama Budha.
-     Hari Raya Imlek bagi Khong Hu Chu,
kecuali ditentukan lain untuk diberikan pada suatu Hari Raya Keagamaan (agama) tertentu dengan tanpa hak untuk menuntut lagi pada Hari Raya Keagamaan lainnya (vide Pasal 4 ayat [2] jo ayat [1] Permen-04/Men/1994).
d. Bentuk atau wujud THR, berupa uang atau bentuk lain (natura), dengan ketentuan apabila diberikan dalam natura, tidak boleh berwujud minuman keras, obat-obatan/bahan obat-obatan. Dan nilai-(natura)-nya hanya maksimum 25% (dua puluh lima perseratus) dari nilai THR yang seharusnya diterima, dan diberikan bersamaan dengan pembayaran THR dalam bentuk uang (vide Pasal 5 jo Pasal 1 huruf d Permen-04/Men/1994).
e. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka (pada prinsipnya) pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru, -dengan ketentuan- pekerja (buruh) yang bersangkutan -memang- belum pernah mendapatkan THR dari perusahaan yang lama (vide Pasal 6 ayat [3] Permen-04/Men/1994).
f.   Jika kondisi perusahaan tidak mampu membayar THR (secara normatif), pengusaha dapat mengajukan permohonan penyimpangan -khususnya- besarnya jumlah THR –dengan menyampaikan permohonan- kepada Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial (“Dirjen”), dengan ketentuan permohonan diajukan (diterima) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum “hari H” Hari Raya Keagamaan terdekat. Setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan,Dirjen (akan) menetapkan besarnya jumlah THR.
 
Demikianlah jawaban, opini dan tambahan penjelasan dari saya, semoga dapat dipahami dan bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan

Books

Tuesday 23 July 2013

Freedom of association

Freedom of association

The principle of freedom of association is at the core of the ILO's values: it is enshrined in the ILO Constitution (1919), the ILO Declaration of Philadelphia (1944), and the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (1998). It is also a right proclaimed in the Universal Declaration of Human Rights (1948). The right to organize and form employers' and workers' organizations is the prerequisite for sound collective bargaining and social dialogue. Nevertheless, there continue to be challenges in applying these principles: in some countries certain categories of workers (for example public servants, seafarers, workers in export processing zones) are denied the right of association, workers' and employers' organizations are illegally suspended or interfered with, and in some extreme cases trade unionists are arrested or killed. ILO standards, in conjunction with the work of the Committee on Freedom of Association and other supervisory mechanisms, pave the way for resolving these difficulties and ensuring that this fundamental human right is respected the world over.

Selected relevant ILO instruments

  • Freedom of Association and Protection of the Right to Organise Convention, 1948 (No. 87) - [ratifications]
    This fundamental convention sets forth the right for workers and employers to establish and join organizations of their own choosing without previous authorization. Workers' and employers' organizations shall organize freely and not be liable to be dissolved or suspended by administrative authority, and they shall have the right to establish and join federations and confederations, which may in turn affiliate with international organizations of workers and employers.
  • Right to Organise and Collective Bargaining Convention, 1949 (No. 98) - [ratifications]
    This fundamental convention provides that workers shall enjoy adequate protection against acts of anti-union discrimination, including requirements that a worker not join a union or relinquish trade union membership for employment, or dismissal of a worker because of union membership or participation in union activities. Workers' and employers' organizations shall enjoy adequate protection against any acts of interference by each other, in particular the establishment of workers' organizations under the domination of employers or employers' organizations, or the support of workers' organizations by financial or other means, with the object of placing such organizations under the control of employers or employers' organizations. The convention also enshrines the right to collective bargaining.
  • Workers' Representatives Convention, 1971 (No. 135) - [ratifications]
    Workers' representatives in an undertaking shall enjoy effective protection against any act prejudicial to them, including dismissal, based on their status or activities as a workers' representative or on union membership or participation in union activities, in so far as they act in conformity with existing laws or collective agreements or other jointly agreed arrangements. Facilities in the undertaking shall be afforded to workers' representatives as may be appropriate in order to enable them to carry out their functions promptly and efficiently.
  • Rural Workers' Organisations Convention, 1975 (No. 141) - [ratifications]
    All categories of rural workers, whether they are wage earners or self-employed, shall have the right to establish and, subject only to the rules of the organization concerned, to join organizations, of their own choosing without previous authorization. The principles of freedom of association shall be fully respected; rural workers' organizations shall be independent and voluntary in character and shall remain free from all interference, coercion or repression. National policy shall facilitate the establishment and growth, on a voluntary basis, of strong and independent organizations of rural workers as an effective means of ensuring the participation of these workers in economic and social development.
  • Labour Relations (Public Service) Convention, 1978 (No. 151) - [ratifications]
    Public employees as defined by the convention shall enjoy adequate protection against acts of anti-union discrimination in respect of their employment, and their organizations shall enjoy complete independence from public authorities as well as adequate protection against any acts of interference by a public authority in their establishment, functioning or administration.
  • Further relevant instruments

Further information

 http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/freedom-of-association/lang--en/index.htm

Education & Reference

Migrant workers

Migrant workers

The growing pace of economic globalization has created more migrant workers than ever before. Unemployment and increasing poverty have prompted many workers in developing countries to seek work elsewhere, while developed countries have increased their demand for labour, especially unskilled labour. As a result, millions of workers and their families travel to countries other than their own to find work. At present there are approximately 175 million migrants around the world, roughly half of them workers (of these, around 15% are estimated to have an irregular status). Women make up almost half of migrants. Migrant workers contribute to the economies of their host countries, and the remittances they send home help to boost the economies of their countries of origin. Yet at the same time migrant workers often enjoy little social protection and are vulnerable to exploitation and human trafficking. Skilled migrant workers are less vulnerable to exploitation, but their departure has deprived some developing countries of valuable labour needed for their own economies. ILO standards on migration provide tools for both migrant sending and receiving countries to manage migration flows and ensure adequate protection for this vulnerable category of workers. (Note 1)
Because of the importance of well-managed migration, the 2004 International Labour Conference called for the implementation of an action plan for migrant workers, which includes a non-binding multilateral framework for migrant workers in the global economy, the wider application of relevant standards, capacity building, and a global knowledge base on the issue.

Selected relevant ILO instruments

  • Migration for Employment Convention (Revised), 1949 (No. 97) - [ratifications]
    Requires ratifying states to facilitate international migration for employment by establishing and maintaining a free assistance and information service for migrant workers and taking measures against misleading propaganda relating to emigration and immigration. Includes provisions on appropriate medical services for migrant workers and the transfer of earnings and savings. States have to apply treatment no less favourable that that which applies to their own nationals in respect to a number of matters, including conditions of employment, freedom of association and social security.
  • Migrant Workers (Supplementary Provisions) Convention, 1975 (No. 143) - [ratifications]
    Provides for measures to combat clandestine and illegal migration while at the same time setting forth the general obligation to respect the basic human rights of all migrant workers. It also extends the scope of equality between legally resident migrant workers and national workers beyond the provisions of the 1949 Convention to ensure equality of opportunity and treatment in respect of employment and occupation, social security, trade union and cultural rights, and individual and collective freedoms for persons who as migrant workers or as members of their families are lawfully within a ratifying state's territory. Calls upon ratifying states to facilitate the reunification of families of migrant workers legally residing in their territory.
  • Further relevant instruments

Further information

  • Towards a fair deal for migrant workers in the global economy
    (Report VI, International Labour Conference, 92nd Session, 2004) - [pdf]
  • General Survey on Migrant Workers (1999) - [pdf]
  • ILO International Migration Programme (MIGRANT
 http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/migrant-workers/lang--en/index.htm

Education & Reference

Decent Work Country Profile - Indonesia

Decent Work Country Profile - Indonesia

The Indonesian government has made employment generation one of its main policy objectives for its National Midterm Development Plan, 2010-2014. However, recent progress in this area has been mixed. The political landscape has been marked by democratic transition and an ambitious programme of decentralization. The economy has faced several major crises together with the structural transition from agriculture to services. The great economic, social and political transformations of the past 15 years have had significant impacts on the labour market. Fundamental changes began in 1998 with a labour law reform programme and the key Manpower Act of 2003, which provides overarching legislative support for labour relations and further laws concerning trade unions and the settlements of disputes. The Decent Work Country Profile for Indonesia aims at critically assessing progress towards the achievement of decent work in Indonesia and at further informing social dialogue at the national level.

Download: English: ‎pdf 0.8 MB‎
Bahasa Indonesia:  ‎pdf 0.9 MB‎ 

 

Education & Reference

Asia and Pacific: Challenges and opportunities for Unions

At the 102nd Session of the International Labour Conference, Noriyuki Suzuki, General Secretary of the International Trade Union Confederation for Asia and Pacific (ITUC-AP), replies to ACTRAV Info. In this interview, Mr. Suzuki gave his views on Employment and social protection in the new demographic context in the Asia and Pacific, Occupational Safety and Health issue and workers ‘priorities in this region.




One of the issues discussed during the 102nd Session of the International Labour Conference is Employment and social protection in the new demographic context. What are the challenges for Asia and Pacific Region on this issue with regard to workers?

There are varieties of demographic changes in the region. However, the key issue is how to build generational solidarity and quality labour market for the youth and the older.

On the one hand, the active working force should support the old, or retired workers, on the other hand, the active working force, especially the youth, should be given gainful and decent employment. By doing so, sustainability of labour market can be ensured.If such labour market is supported by quality social security schemes as stipulated by the ILO Social Security (Minimum Standards) Convention, 1952 (No. 102) and Social Protection Floors Recommendation, 2012 (No. 202), a balanced socio-economic system can be built.

The challenge is how to finance the system. Continued economic growths with distributive and re-distributive mechanisms including fair taxation are two key challenges.

After the tragedy in the Building collapse in Bangladesh, what should be your expectations vis-à-vis the ILO to prevent workplace disasters?

We took up this tragic industrial accident during the 102nd session of the  International Labour Conference  in Geneva. The crucial point is, with functioning unions, or the employer/union partnership, that accident would not have happened. Proper inspections would have been conducted, Occupational Health and Safety matters would have been discussed, and proper representation would have been conducted on that morning when emerging cracks were about to lead the collapse of the building.

“Recognise the union” or “promote social partnership at factories and industries” – this is the only way to prevent such a disastrous industrial accident.

Finally, what are the workers’ priorities in the Asia and Pacific Region?

Because of prevailing flexible labour market policy, precarious work and informal economy are surging in our region, accordingly, income disparity is widening.

Our highest priority is “building stronger labour market institutions through organising and unity.” Higher union density and strong collective bargaining enable adequate distribution, and through institutional reforms in various labour laws, social laws, taxation system with better fiscal policy by united trade union mobilisation, re-distribution systems can be built in societies, so that all workers without distinction whatsoever, including migrant workers, can be benefitted by the fast economic growth in the region.

Education & Reference

Facebook