Translate

Thursday 25 July 2013

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak
Saya karyawan kontrak yang sudah kurang lebih 6 tahun, tapi tiap setahun sekali perpanjangan kontrak, dan sesudah 2 tahun sekali libur 1 bulan. Bulan Mei lalu saya habis libur 1 bulan dan sudah masuk tanda tangan kontrak. Bagaimana dengan THR-nya? Mengingat masa kerja sudah 6 tahun meskipun tiap 2 tahun sekali diliburkan 1 bulan. Dan apakah menyalahi undang-undang sistem kontrak seperti itu? Terima kasih, mohon kejelasannya.

Sehubungan dengan permasalahan dan pertanyaan Saudara, saya mengawali dengan memberi komentar mengenai hubungan kerja Saudara sebagai “karyawan kontrak”, kemudian baru menjelaskan seputar hak Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) Saudara sekaligus menjelaskan ketentuan lain mengenai THR, sebagai berikut:
1. Ketentuan mengenai hubungan kerja melalui PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) -atau istilah Saudara, “karyawan kntrak”- merujuk pada Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003), bahwa PKWT atau “kontrak” hanya dapat dibuat (diperjanjikan) untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Ciri-cirinya, -antara lain- adalah:
a.    pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan
 
Ketentuan tersebut, dipertegas pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003 dan penjelasannya bahwa PKWT tidak dapat diadakan (diperjanjikan) untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yakni pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu, dan merupakan bagian dari sutu proses produksi dalam suatu perusahaan; atau pekerjaan yang bukan musiman.
 
Terkait dengan masalah Saudara -yang katanya- sudah berlangsung selama 6 (enam) tahun yang setiap tahunnya diperpanjang dan sesudah 2 (dua) tahun sekali diliburkan selama 1 (satu) bulan, maka dapat saya jelaskan -dengan memberikan opini- bahwa:
-    jika Saudara dipekerjakan melalui PKWT dan -memang- untuk suatu pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka sah-sah saja Saudara di-”kontrak” melalui PKWT oleh -manajemen- perusahaan dan -diperjanjikan- setiap tahun (sesuai kebutuhan). Terlebih, jika jenis pekerjaanya memang selalu berganti atau berpindah tempatnya ataukah -memang- sifat pekerjaannya temporary (tidak tetap).
-    Namun demikian, jika -sebaliknya- suatu pekerjaan memenuhi syarat sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, akan tetapi Saudara dipekerjakan melalui PKWT, maka menurut Pasal 59 ayat (7) UU No.13/2003 demi hukum berubah menjadi PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Artinya hak-hak Saudara, baik pada saat masih dalam hubungan kerja (termasuk hak THR) maupun pada saat berakhirnya hubungan kerja (seperti hak “pesangon”) berhak diperoleh pada saat timbulnya hak-hak dimaksud. Dalam arti, THR Saudara bukan diberikan secara proporsional, akan tetapi seharusnya utuh 1 (satu) bulan gaji seperti layaknya pekerja/buruh permanen melalui PKWTT.
 
2. Mengenai hak THR, pada dasarnya -memang- merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik “karyawan kontrak” (PKWT), maupun terhadap PKWTT (permanen). Walaupun -memang- ada perbedaan mengenai timbulnya hak THR terkait dengan -jangka waktu- saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yakni:
a.    Bagi seorang pekerja/buruh yang di-hire melalui PKWTT dan terputus hubungan kerjanya (PHK*) terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir -masih- dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan (“hari H”), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun -sebaliknya- jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari -kalender-, maka hak atas THR dimaksud gugur.
b.    Sedangkan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui PKWT, walau “kontrak” hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak THR. Artinya, bagi PKWT, tidak ada -toleransi- ketentuan mengenai batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksud. Jadi bagi pekerja/buruh melalui PKWT, -hanya- berhak atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja –sekurang-kurangnya- sampai dengan pada “hari H” suatu Hari Raya Keagamaan -sesuai agama yang dianut- pekerja/buruh yang bersangkutan
(lihat Pasal 1 huruf d jo Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 6 ayat [2] jo ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, selanjutnya disebut “Permen-04/Men/1994”).
 
Sebagai tambahan penjelasan dan -mungkin- sekedar me-refresh kembali ingatan kita, bahwa putusnya hubungan kerja (PHK) melalui PKWTT, dapat terjadi karena alasan-alasan, sebagai berikut:
a)    PHK karena kehendak pengusaha, misalnya PHK karena perubahan status (spin off atau split off), merger/konsolidasi, restrukturisasi dalam hal akuisisi atau efisiensi akibat reorganisasi dan likuidasi.
b)    PHK karena kemauan pekerja/buruh, seperti pengunduran diri atas kemauan sendiri (resign);
c)    PHK karena putusan/“penetapan” pengadilan, sesuai dengan saat yang ditentukan dalam putusan atau penetapan (yang -telah- berkekuatan hukum tetap); atau
d)    PHK yang terjadi demi hukum (otomatis), misalnya pekerja/buruh mencapai batas usia pensiun, meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu -yang ditentukan dalam- perjanjian kerja (PKWTT) dimaksud.
 
Saat terjadinya PHK seperti tersebut itulah yang menjadi titik poin perhitungan lamanya 30 (tiga puluh) hari dimaksud sampai dengan “hari H” Hari Raya Keagamaan. Jika saat itu masih dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka yang bersangkutan -masih- berhak atas THR. Namun sebaliknya, jika lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, maka tidak ada hak THR bagi yang bersangkutan.
Dengan demikian, berkenaan dengan masalah Saudara -yang setiap tahunnya di-”kontrak” dan selalu diperpanjang dengan waktu yang sama, -sehingga komulatif 2 (dua) tahun- dan telah berlangsung selama 6 (enam) tahun, maka tentu adakalanya Saudara mendapat THR secara proporsional, dan adakalanya full (normal), namun adakalanya mungkin tidak memperoleh sama sekali.
-    Manakala “kontrak” hubungan kerja Saudara (di awal) baru berlangsung lebih dari 3 (tiga) bulan saat “hari H” pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara hanya berhak THR secara proporsional;
-    Akan tetapi, apabila “kontrak” hubungan kerja Saudara sudah berlangsung lebih dari 1 (satu) tahun (termasuk perpanjangannya), maka saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, tentu Saudara berhak atas THR secara full (penuh).
-    Namun jika “kontrak” Saudara pada tahun berikutnya tidak “ketemu” bersamaan atau tidak melampaui saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara sama sekali tidak berhak atas THR dimaksud.

3. Berkenaan dengan penjelasan tersebut di atas, masih ada beberapa ketentuan THR yang (mungkin) perlu atau penting untuk dipahami semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh atau “serikat” dan termasuk masyarakat umum), yakni:
a. Perhitungan besaran hak THR pada masing-masing pekerja/buruh, adalah sebagai berikut:
1)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun -tetapi telah lebih dari 3 (tiga) bulan-, diberikan secara proporsional dengan rumus: “Masa Kerja x 1(satu) bulan upah dibagi 12”. Dengan kata lain, 1/12 x upah x lamanya masa kerja dalam bulan (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat [1] huruf b Permen-04/Men/1994);
2)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih (hingga tak terhingga), -hanya- berhak 1 (satu) bulan upah (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat (1) huruf a Permen-04/Men/1994).
b. Besaran nilai THR adalah 1 (satu) bulan gaji, yang (jika terdiri dari beberapa -item- komponen) meliputi upah pokok dan tunjangan tetap (vide Pasal 3 ayat [1] huruf a dan ayat [2] Permen-04/Men/1994).Namun dalam hal besarnya THR telah diatur dalam Perjanjian Kerja (PK) dan/atau Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama (PP/PKB) atau sesuai kebiasaan yang -nilainya- lebih besar dari nilai THR (secara normatif) sebagaimana tersebut di atas, maka THR yang dibayarkan adalah sesuai dengan PK dan/atau PP/PKB, atau kebiasaan yang telah dilakukan.
c.   Pembayaran THR dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum “hari H” pada Hari Raya Keagamaan dan pemberiannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja (buruh), yakni :
-     Hari Raya Idul Fitri, bagi pekerja (buruh) yang beragama Islam;
-     Hari Raya Natal, bagi pekerja (buruh) yang beragama Kristen Katholik dan Protestan;
-     Hari Raya Nyepi, bagi pekerja (buruh) yang beragama Hindu; dan
-     Hari Raya Waisak, bagi pekerja (buruh) yang beragama Budha.
-     Hari Raya Imlek bagi Khong Hu Chu,
kecuali ditentukan lain untuk diberikan pada suatu Hari Raya Keagamaan (agama) tertentu dengan tanpa hak untuk menuntut lagi pada Hari Raya Keagamaan lainnya (vide Pasal 4 ayat [2] jo ayat [1] Permen-04/Men/1994).
d. Bentuk atau wujud THR, berupa uang atau bentuk lain (natura), dengan ketentuan apabila diberikan dalam natura, tidak boleh berwujud minuman keras, obat-obatan/bahan obat-obatan. Dan nilai-(natura)-nya hanya maksimum 25% (dua puluh lima perseratus) dari nilai THR yang seharusnya diterima, dan diberikan bersamaan dengan pembayaran THR dalam bentuk uang (vide Pasal 5 jo Pasal 1 huruf d Permen-04/Men/1994).
e. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka (pada prinsipnya) pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru, -dengan ketentuan- pekerja (buruh) yang bersangkutan -memang- belum pernah mendapatkan THR dari perusahaan yang lama (vide Pasal 6 ayat [3] Permen-04/Men/1994).
f.   Jika kondisi perusahaan tidak mampu membayar THR (secara normatif), pengusaha dapat mengajukan permohonan penyimpangan -khususnya- besarnya jumlah THR –dengan menyampaikan permohonan- kepada Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial (“Dirjen”), dengan ketentuan permohonan diajukan (diterima) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum “hari H” Hari Raya Keagamaan terdekat. Setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan,Dirjen (akan) menetapkan besarnya jumlah THR.
 
Demikianlah jawaban, opini dan tambahan penjelasan dari saya, semoga dapat dipahami dan bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan

Books

Tuesday 23 July 2013

Freedom of association

Freedom of association

The principle of freedom of association is at the core of the ILO's values: it is enshrined in the ILO Constitution (1919), the ILO Declaration of Philadelphia (1944), and the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (1998). It is also a right proclaimed in the Universal Declaration of Human Rights (1948). The right to organize and form employers' and workers' organizations is the prerequisite for sound collective bargaining and social dialogue. Nevertheless, there continue to be challenges in applying these principles: in some countries certain categories of workers (for example public servants, seafarers, workers in export processing zones) are denied the right of association, workers' and employers' organizations are illegally suspended or interfered with, and in some extreme cases trade unionists are arrested or killed. ILO standards, in conjunction with the work of the Committee on Freedom of Association and other supervisory mechanisms, pave the way for resolving these difficulties and ensuring that this fundamental human right is respected the world over.

Selected relevant ILO instruments

  • Freedom of Association and Protection of the Right to Organise Convention, 1948 (No. 87) - [ratifications]
    This fundamental convention sets forth the right for workers and employers to establish and join organizations of their own choosing without previous authorization. Workers' and employers' organizations shall organize freely and not be liable to be dissolved or suspended by administrative authority, and they shall have the right to establish and join federations and confederations, which may in turn affiliate with international organizations of workers and employers.
  • Right to Organise and Collective Bargaining Convention, 1949 (No. 98) - [ratifications]
    This fundamental convention provides that workers shall enjoy adequate protection against acts of anti-union discrimination, including requirements that a worker not join a union or relinquish trade union membership for employment, or dismissal of a worker because of union membership or participation in union activities. Workers' and employers' organizations shall enjoy adequate protection against any acts of interference by each other, in particular the establishment of workers' organizations under the domination of employers or employers' organizations, or the support of workers' organizations by financial or other means, with the object of placing such organizations under the control of employers or employers' organizations. The convention also enshrines the right to collective bargaining.
  • Workers' Representatives Convention, 1971 (No. 135) - [ratifications]
    Workers' representatives in an undertaking shall enjoy effective protection against any act prejudicial to them, including dismissal, based on their status or activities as a workers' representative or on union membership or participation in union activities, in so far as they act in conformity with existing laws or collective agreements or other jointly agreed arrangements. Facilities in the undertaking shall be afforded to workers' representatives as may be appropriate in order to enable them to carry out their functions promptly and efficiently.
  • Rural Workers' Organisations Convention, 1975 (No. 141) - [ratifications]
    All categories of rural workers, whether they are wage earners or self-employed, shall have the right to establish and, subject only to the rules of the organization concerned, to join organizations, of their own choosing without previous authorization. The principles of freedom of association shall be fully respected; rural workers' organizations shall be independent and voluntary in character and shall remain free from all interference, coercion or repression. National policy shall facilitate the establishment and growth, on a voluntary basis, of strong and independent organizations of rural workers as an effective means of ensuring the participation of these workers in economic and social development.
  • Labour Relations (Public Service) Convention, 1978 (No. 151) - [ratifications]
    Public employees as defined by the convention shall enjoy adequate protection against acts of anti-union discrimination in respect of their employment, and their organizations shall enjoy complete independence from public authorities as well as adequate protection against any acts of interference by a public authority in their establishment, functioning or administration.
  • Further relevant instruments

Further information

 http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/freedom-of-association/lang--en/index.htm

Education & Reference

Migrant workers

Migrant workers

The growing pace of economic globalization has created more migrant workers than ever before. Unemployment and increasing poverty have prompted many workers in developing countries to seek work elsewhere, while developed countries have increased their demand for labour, especially unskilled labour. As a result, millions of workers and their families travel to countries other than their own to find work. At present there are approximately 175 million migrants around the world, roughly half of them workers (of these, around 15% are estimated to have an irregular status). Women make up almost half of migrants. Migrant workers contribute to the economies of their host countries, and the remittances they send home help to boost the economies of their countries of origin. Yet at the same time migrant workers often enjoy little social protection and are vulnerable to exploitation and human trafficking. Skilled migrant workers are less vulnerable to exploitation, but their departure has deprived some developing countries of valuable labour needed for their own economies. ILO standards on migration provide tools for both migrant sending and receiving countries to manage migration flows and ensure adequate protection for this vulnerable category of workers. (Note 1)
Because of the importance of well-managed migration, the 2004 International Labour Conference called for the implementation of an action plan for migrant workers, which includes a non-binding multilateral framework for migrant workers in the global economy, the wider application of relevant standards, capacity building, and a global knowledge base on the issue.

Selected relevant ILO instruments

  • Migration for Employment Convention (Revised), 1949 (No. 97) - [ratifications]
    Requires ratifying states to facilitate international migration for employment by establishing and maintaining a free assistance and information service for migrant workers and taking measures against misleading propaganda relating to emigration and immigration. Includes provisions on appropriate medical services for migrant workers and the transfer of earnings and savings. States have to apply treatment no less favourable that that which applies to their own nationals in respect to a number of matters, including conditions of employment, freedom of association and social security.
  • Migrant Workers (Supplementary Provisions) Convention, 1975 (No. 143) - [ratifications]
    Provides for measures to combat clandestine and illegal migration while at the same time setting forth the general obligation to respect the basic human rights of all migrant workers. It also extends the scope of equality between legally resident migrant workers and national workers beyond the provisions of the 1949 Convention to ensure equality of opportunity and treatment in respect of employment and occupation, social security, trade union and cultural rights, and individual and collective freedoms for persons who as migrant workers or as members of their families are lawfully within a ratifying state's territory. Calls upon ratifying states to facilitate the reunification of families of migrant workers legally residing in their territory.
  • Further relevant instruments

Further information

  • Towards a fair deal for migrant workers in the global economy
    (Report VI, International Labour Conference, 92nd Session, 2004) - [pdf]
  • General Survey on Migrant Workers (1999) - [pdf]
  • ILO International Migration Programme (MIGRANT
 http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/migrant-workers/lang--en/index.htm

Education & Reference

Decent Work Country Profile - Indonesia

Decent Work Country Profile - Indonesia

The Indonesian government has made employment generation one of its main policy objectives for its National Midterm Development Plan, 2010-2014. However, recent progress in this area has been mixed. The political landscape has been marked by democratic transition and an ambitious programme of decentralization. The economy has faced several major crises together with the structural transition from agriculture to services. The great economic, social and political transformations of the past 15 years have had significant impacts on the labour market. Fundamental changes began in 1998 with a labour law reform programme and the key Manpower Act of 2003, which provides overarching legislative support for labour relations and further laws concerning trade unions and the settlements of disputes. The Decent Work Country Profile for Indonesia aims at critically assessing progress towards the achievement of decent work in Indonesia and at further informing social dialogue at the national level.

Download: English: ‎pdf 0.8 MB‎
Bahasa Indonesia:  ‎pdf 0.9 MB‎ 

 

Education & Reference

Asia and Pacific: Challenges and opportunities for Unions

At the 102nd Session of the International Labour Conference, Noriyuki Suzuki, General Secretary of the International Trade Union Confederation for Asia and Pacific (ITUC-AP), replies to ACTRAV Info. In this interview, Mr. Suzuki gave his views on Employment and social protection in the new demographic context in the Asia and Pacific, Occupational Safety and Health issue and workers ‘priorities in this region.




One of the issues discussed during the 102nd Session of the International Labour Conference is Employment and social protection in the new demographic context. What are the challenges for Asia and Pacific Region on this issue with regard to workers?

There are varieties of demographic changes in the region. However, the key issue is how to build generational solidarity and quality labour market for the youth and the older.

On the one hand, the active working force should support the old, or retired workers, on the other hand, the active working force, especially the youth, should be given gainful and decent employment. By doing so, sustainability of labour market can be ensured.If such labour market is supported by quality social security schemes as stipulated by the ILO Social Security (Minimum Standards) Convention, 1952 (No. 102) and Social Protection Floors Recommendation, 2012 (No. 202), a balanced socio-economic system can be built.

The challenge is how to finance the system. Continued economic growths with distributive and re-distributive mechanisms including fair taxation are two key challenges.

After the tragedy in the Building collapse in Bangladesh, what should be your expectations vis-à-vis the ILO to prevent workplace disasters?

We took up this tragic industrial accident during the 102nd session of the  International Labour Conference  in Geneva. The crucial point is, with functioning unions, or the employer/union partnership, that accident would not have happened. Proper inspections would have been conducted, Occupational Health and Safety matters would have been discussed, and proper representation would have been conducted on that morning when emerging cracks were about to lead the collapse of the building.

“Recognise the union” or “promote social partnership at factories and industries” – this is the only way to prevent such a disastrous industrial accident.

Finally, what are the workers’ priorities in the Asia and Pacific Region?

Because of prevailing flexible labour market policy, precarious work and informal economy are surging in our region, accordingly, income disparity is widening.

Our highest priority is “building stronger labour market institutions through organising and unity.” Higher union density and strong collective bargaining enable adequate distribution, and through institutional reforms in various labour laws, social laws, taxation system with better fiscal policy by united trade union mobilisation, re-distribution systems can be built in societies, so that all workers without distinction whatsoever, including migrant workers, can be benefitted by the fast economic growth in the region.

Education & Reference

Buruh Karawang Ancam Demo, Pengusaha Resah

INILAH.COM, Bandung - Industri di Karawang terancam lumpuh karena akan ada demo besar-besaran yang dilakukan buruh pada Rabu (24/7/2013) besok. Buruh juga mengancam akan mematikan mesin-mesin dalam jangka waktu lama jika tuntutan kenaikan THR sebesar 50% tidak dipenuhi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Deddy Widjaja mengatakan, pelaku industri resah mendengar rencana demo di Karawang. Aksi tersebut dipastikan membuat pengusaha merugi dalam jumlah besar karena kegiatan usaha terhenti.

"Jelas akan sangat meresahkan pengusaha. Jika aksi tersebut jadi dilakukan maka industri Jabar akan tercoreng di mata investor," ujar Deddy kepada wartawan, Selasa (23/7/2013).

Pihaknya mendapat informasi demo buruh yang tergabung dalam Aliansi Besar Karawang tersebut akan diwarnai aksi sweeping sambil mematikan mesin-mesin pabrik. Aksi itu dilakukan sebagai dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi.

"Harga kebutuhan pokok naik akibat BBM naik, sehingga buruh menuntut kenaikan THR sebesar 50% dari biasanya," katanya.

Menurutnya, aksi mematikan mesin akan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, terhitung 24 Juli hingga H-1 Lebaran. Jika ada yang tetap beroperasi maka buruh akan menyatroni langsung ke pabrik.

Lebih lanjut dia menuturkan, jumlah industri di wilayah tersebut berkisar 300-400 pabrik dan sebagian besar dimiliki investor asing. Bila aksi tersebut terjadi, maka para investor bisa hengkang dan merelokasi pabriknya ke daerah atau ke negara lain.

"Aksi seperti ini sudah diluar kewajaran, dan para investor akan banyak yang kabur," bebernya.

Melihat kondisi itu, pihaknya meminta buruh juga memahami jika pengusaha pun terkena imbas kenaikan BBM bersubsidi. Pengusaha cukup kesulitan memasrakan produk akibat penurunan daya beli masyarakat.

Pihaknya telah melakukan pertemuan dengan perwakilan buruh demi mencari solusi terbaik dari permasalahan tersebut. Akan tetapi, sampai saat ini kedua belah pihak belum menghasilkan keputusan bersama.

"Buruh juga harus mengerti bahwa kami juga kena dampak kenaikan BBM namun tidak dipaparkan secara vulgar," ucapnya.

Terkait rencana aksi tersbeut, pihaknya telah berkoordinasi dengan jajaran Polda Jabar. Hal tersbeut dilakukan agar petugas kepolisian bisa melakukan pengamanan secara maksimal.

Monday 22 July 2013

PM Rudd Bikin Popularitas Buruh Meroket



sumber:RMOL.

Kembalinya Kevin Rudd sebagai
Perdana Menteri (PM) Australia akhir bulan
lalu, telah membawa efek positif buat Partai
Buruh. Popularitas Partai Buruh yang semula
jeblok melawan kubu oposisi, Partai Liberal
Nasional, dua bulan jelang pemilu 14
September naik drastis hingga lebih dari 50
persen.
Dalam hasil jajak pendapat Newspoll terhadap
1.126 pemilih awal pekan ini, Partai Buruh dan
Partai Liberal Nasional saling susul dan
bahkan seri. Kehadiran Rudd berhasil
melebarkan jarak dengan pimpinan oposisi
Tony Abbott sebesar 22 poin.
Rudd berhasil mendapatkan 53 persen dukungan, sementara Abbott hanya mendapat
31 persen.
Jika pemilu diadakan pada pekan ini,
kemungkinan Partai Buruh dan rivalnya sama-
sama akan mendapat 50 persen suara. Hasil
ini berubah dari poling dua pekan lalu, dimana
Rudd masih kalah dari Tony Abbott dengan
poin 49-51 persen dukungan.
Dalam hasil jajak pendapat kali ini, Rudd,
diplomat yang mahir berbahasa Mandarin ini,
menjadi PM yang paling diminati dengan
perolehan 53 persen. Sementara Abbott hanya
didukung 31 persen dan 16 persen lainnya
belum memutuskan pilihan.
Selain itu, ada sekitar 56 persen pemilih yang
tidak puas dengan Abbott karena kebijakannya
yang terlalu kontroversial. Hanya 35 persen
pemilh yang merasa tidak puas dengan posisi
Rudd.
Rudd menjadi makin popular setelah dia
mengumumkan perubahan tata cara pemilihan
Partai Buruh. Awal pekan ini, Rudd
mengatakan bahwa setiap anggota partai
boleh secara langsung memberikan pendapat
dan menentukan pilihan ketua yang sesuai
untuk partai mereka.
Rudd mengatakan, pemimpin partai akan
dipilih bersama, dengan suara dari anggota
partai 50 persen dan sisanya dari anggota
Kaukus partai Buruh terpilih 50 persen.
Hingga saat ini, Rudd masih belum
mengumumkan jadwal pemilu. Sesuai jadwal
yang ditetapkan Julia Gillard, pemilu akan
dilaksanakan pada 14 September. Namun jika
mengikuti hukum pemilu, pemilu paling lambat
harus dilakukan pada 30 November tahun ini.
[Harian Rakyat Merdeka]

Pidanakan Pengusaha Yang Tidak Bayar THR

Tribunnews.com, JAKARTA - Saat-saat
menjelang perayaan hari raya keagamaan,
terutama Hari Raya Iedul Fitri bagi ummat
Islam, pembicaraan mengenai Tunjangan
Hari Raya (THR) selalu marak. Pembicaraan
mengenai THR, selalu dipenuhi dengan suka
cita para buruh/pekerja Indonesia yang
mengharapkan pendapatan tambahan bagi
diri dan keluarganya untuk menyambut saat-
saat bahagia ketika merayakan Hari raya
bersama keluarga besarnya.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.
NOMOR PER-04/MEN/1994 TAHUN 1994
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat pemeluk agama yang
setiap tahunnya merayakan hari raya
keagamaan sesuai dengan agamanya
masing-masing, sehingga bagi buruh/pekerja
untuk merayakan hari raya tersebut
memerlukan biaya tambahan. Maka THR
wajib diberikan oleh pengusaha kepada
buruh/pekerjanya. THR harus diberikan
paling lambat tujuh hari sebelum lebaran
(H-7) hari keagamaan.
Presiden Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat
Nasional (KSN), Mukhtar Guntur,
menjelaskan menjelang perayaan hari
keagamaan bagi umat Islam yakni Idul Fitri
di Tahun 2013 ini, kaum buruh sudah di
perhadapkan dengan kondisi ekonomi yang
semakin sulit.
Sebelumnya pemerintah pun telah
menetapkan kenaikan BBM (bahan Bakar
minyak) dengan kenaikan BBM tersebut
kemudian mendongkrak kenaikan-kenaikan
harga kebutuhan pokok. "Hal tersebut
memaksa buruh untuk menambah biaya
transportasi dan biaya makan perhari dari
upah minimum yang diterima setiap bulan
atau perminggunya," kata Mukhtar dalam
keterangannya, Senin (22/7/2013).
Berdasarkan Pertimbangan diatas maka,
menurut Mukhtar, maka pengusaha wajib
membayar THR kepada buruh/Pekerjanya
dan apabila melanggar ketentuan
pembayaran THR akan diancam dengan
hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 17
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja. "Hukuman pidana
kurungan maupun denda," kata Mukhtar.
Pihaknya meminta pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk melakukan
pengawasan dan menindak tegas para
pengusaha yang tidak membayarkan THR
terhadap Buruh/Pekerjanya.
"Pidanakan Pengusaha yang tidak
membayarkan THR atau membayarkan THR
yang sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja RI No. NOMOR
PER-04/MEN/1994 TAHUN 1994," kata dia.


Education & Reference

Sunday 21 July 2013

Tips dan Langkah jika di PHK

Bagaimana langkah dan hak-hak pekerja dan perusahaan jika terjadi perselisihan industrial dalam perselisihan PHK  pekerja secara sepihak  oleh pengusaha.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) telah mengatur tentang apa saja keadaan dan bagaimana mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK). 
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin menghindari PHK. Apabila tak bisa dihindari, pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Kalau perundingan itu masih mentok, maka PHK baru bisa dilakukan bila ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
    
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi batal demi hukum. Artinya, PHK itu dianggap sama sekali tidak pernah ada. Hal itu ditegaskan oleh pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. 
Ketika lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha tetap harus melaksanakan kewajibannya seperti biasa. Pekerja tetap bekerja, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan hak pekerja. Hal ini tertuang dalam pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 
Pengusaha dapat menjatuhkan skorsing alias pemberhentian sementara kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK. Namun begitu, pengusaha tetap berkewajiban membayar hak si pekerja. Demikian isi dari pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan. 
Dari uraian terhadap pasal 151 dan pasal 155 UU Ketenagakerjaan di atas, maka keputusan PHK secara sepihak dan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial terlebih dulu, menjadi batal demi hukum. 
Secara hukum, tak ada pembedaan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk proses PHK antara pekerja dan pengusaha. Keduanya tetap harus merujuk pada UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI jika ingin memutuskan hubungan kerja. 

Adapun UU PPHI mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh untuk proses PHK. sebagai berikut;
a.Perundingan secara bipartit antara perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika dalam tahap ini kedua pihak sepakat memutuskan hubungan kerja berikut dengan segala hak dan kewajibannya, maka tidak ada masalah.
b.Apabila perundingan bipartit seperti dijelaskan pada poin 1 menemui jalan buntu, maka para pihak mencatatkan perselisihan itu ke instansi ketenagakerjaan setempat. Nantinya, pegawai di instansi itu akan menawarkan pekerja dan pengusaha untuk memilih proses mediasi atau konsiliasi. Jika proses mediasi atau konsiliasi itu membuahkan kesepakatan, maka kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Perjanjian itu harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Apabila di kemudian hari ada pihak yang melanggar perjanjian bersama, maka pihak yang merasa dirugikan bisa langsung memohonkan eksekusi ke PHI.
c.Tapi kalau proses mediasi atau konsiliasi masih juga mentok, para pihak bisa membawa perselisihan PHK itu ke PHI untuk diputuskan. Nantinya, pihak yang merasa tak puas dengan putusan PHI bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Akan tetapi kejadian dilapangan kita sering melihat upaya wakil pengusaha yang tidak adil yaitu selalu berusaha mengintimidasi pekerja yang di phk sepihak dengan berbagai cara,agar phk nya bisa diterima pekerja,seperti:
-.Mengancam akan mengurangi nominal pesangon yang pernah ditawarkan,apabila pekerja menolak dan melakukan langkah-langkah  hukum.
-.Mengancam pekerja untk tidak memberikan hak-haknya pada masa dalam proses pengadilan. 
-.Memakai jasa orang luar untuk berusaha mendatangi istri pekerja dirumah dengan mencoba mempengaruhi sang istri untuk bisa menerima uang pesangon.
-.Berusaha membuat pekerja untuk tidak nyaman dan tidak mempunyai harapan untuk bekerja kembali,dengan berbagai macam cara seperti mutasi , intimidasi, diskriminasi dan banyak macam cara lainnya.

Untuk mengantisipasi segala kemungkinan tersebut,mungkin  langkah pekerja yang harus dilakukan adalah;
1.Konsultasikan perselisihan kepada serikat pekerja dengan intens.
2.Mencari referensi untuk menguasai materi perundangan dalam permasalahan phk sepihak.
3.Berusaha untuk tidak memberi cela kepada perusahaan, agar pasal yang dikenakan tidak terbukti ataupun bertambah. 
4.Pekerja telah memiliki dan mempelajari target angka pesangon yang cukup atau diatas normatif,jika langkah hukum yang telah dilakukan tidak berpihak kepada pekerja.karena segala kemungkinan apapun bisa terjadi.
Semoga membantu.

Education & Reference


Saturday 20 July 2013

India: Bebaskan 147 pekerja yangdipenjara - dukung para peserta mogokmakan

Bekerjasama dengan IndustriALL Global Union,yang mewakili 50 juta pekerja di 140 negara di
seluruh rantai pasokan pada sektor
pertambangan, energi dan manufaktur ditingkat global. IndustriALL global Union didirikan di Kopenhagen pada tanggal 19 Juni 2012.
Bagi para pekerja di pabrik Maruti Suzuki di India, 18 Juli merupakan ulang tahun dari peristiwa yang tidak diinginkan yaitu perilaku
keji anti-serikat dari polisi dan pihak berwenang. Sebagai upaya untuk mengakhiri represi, mogok makanpun direncanakan.
Setelah insiden kekerasan pada 18 Juli tahun lalu di mana seorang manajer di pabrik Manesar Maruti Suzuki India Limited (MSIL)
meninggal, 147 pekerja telah di penjara di Gurgaon tanpa diberikan kesempatan bebas
dengan jaminan. Telah beredar pula surat perintah penangkapan bagi 66 pekerja tanpa kesempatan bebas dengan jaminan. 2.300
pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka, dan ini menjadi tahun di mana ribuan keluarga telah mengalai kehancuran secara ekonomi
dan emosional. Pada 23 Juni General Body Serikat Pekerja Maruti Suzuki (MSWU)
memutuskan, melanjutkan perjuangan dan aksi solidaritas, untuk memprotes ketidakadilan dan penganiayaan saat menyuarakan hak-hak yang sah.
Dua hal yang menjadi tuntutan aksi mogok makan ini yaitu:
1. Lepaskan pekerja dan aktivis yang ditangkap.
2. Mempekerjakan kembali semua pekerja yang diberhentikan
dari tiga pabrik Maruti Suzuki di Manesar. Perjuangan akan terus berlanjut sampai semua tuntutan diatas dipenuhi.
Link: www.labourstartcampaigns.net/show_campaign.cgi?c=1897
book Education & Reference  
Guide your search for hotels

Ditahan KPK, Emir Moeis Tetap Terima Gaji

TEMPO.CO, Jakarta- Meskipun sudah ditetapkan sebagai
tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi,
Emir Moeis tidak kehilangan seluruh haknya di DPR. Apa
saja yang tetap diperoleh Emir meski berstatus tahanan
KPK?
"Beliau tetap mendapatkan gaji pokok," kata Sekretaris
Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Winantuningtyastiti saat
dihubungi, Kamis, 11 Juli 2013. (Lihat: Tersangka Setahun,
KPK Akhirnya Tahan Emir Moeis)
Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/
DPR RI/XII/2010 struktur gaji anggota DPR yang terdiri atas
gaji pokok dan tunjangan serta penerimaan lain-lain. Gaji
pokok yang diterima sama oleh semua anggota Dewan.
Gaji pokok anggota Dewan terdiri dari:
1. Gaji pokok Rp 4,2 juta
2. Tunjangan istri Rp 420 ribu
3. Tunjangan anak (2 anak) Rp 168 ribu
4. Uang sidang/paket Rp 2 juta
5. Tunjangan jabatan Rp 9,7 juta
6. Tunjangan beras (4 jiwa) Rp 198 ribu
7. Tunjangan PPH Pasal 21 Rp 1,729 juta
Jumlah gaji pokok anggota Dewan mencapai Rp 18,415 juta.
Tapi setelah dipotong pajak dan iuran DPR serta tunjangan
uang sidang, total dana yang diterima Emir sekitar Rp 14
juta.
Ketua Badan Kehormatan Trimedya Panjaitan menyatakan,
Emir tidak kehilangan seluruh haknya saat ditetapkan
sebagai tersangka. Emir tetap mendapatkan gaji selama
kasusnya belum ke pengadilan. "Begitu terdakwa, baru
nanti nonaktif," kata dia.

Link: m.tempo.co/read/news/2013/07/12/063495686/Ditahan-KPK-Emir-Moeis-Tetap-Terima-Gaji

Filipina: Pemimpin serikat pekerja ditembak mati - menuntut keadilan danakhiri impunitas sekarang

Antonio "Dodong" Petalcorin, pemimpin Jaringan Organisasi Transportasi (NETO-APL-ITUC), ditembak mati pada 2 Juli 2013 tepat didepan rumahnya. Penembak tertangkap kamera CCTV dengan tenang melarikan diri
menggunakan sepeda motor.
Serikat pekerja mencurigai Benjamin Go,direktur regional Dewan Perhubungan Darat
Waralaba dan Regulasi (LTFRB) Kantor Wilayah di Kota Davao berada di balik pembunuhan itu.
Dodong adalah bagian dari sekelompok pemimpin transportasi yang mengekspos
praktek korupsi yang diduga dilakukan oleh direktur dan meluncurkan kampanye untuk
mengusir dia pada Oktober 2012. Rekan-rekan Dodong percaya bahwa pembunuhan itu mungkin menjadi bagian dari serangkaian
upaya untuk membungkam mereka membuka selubung korupsi di kantor LTFRB, yang
terutama mengorbankan sopir angkutan umum kecil-kecilan dan operator. Mereka mencontohkan apa yang terjadi pada Emilio
Rivera, mantan ketua sebuah kelompok pekerja transportasi independen, Matina Aplaya Transport Cooperative (MATRANSCO),yang ditembak mati, serta Carlos Cirilo, yang nyaris tak selamat ketika sebuah granat yang
dilemprkan kedalam rumahnya tapi untungnya gagal meledak. Dodong, Emilio dan Cirilo
memiliki satu kesamaan - mereka adalah pelapor dalam kasus korupsi yang diajukan terhadap Benjamin Go. Kami menyerukan kepada Presiden Filipina agar melakukan yang terbaik untuk
menghentikan pembunuhan terhadap aktivis serikat pekerja dan hak asasi manusia, dan untuk membawa pembunuh ke pengadilan. Kami juga menyerukan Presiden untuk
mengatasi masalah yang diangkat dan diperjuangkan oleh Dodong dan rekan-rekannya - dugaan korupsi di kantor LTFRB di
Davao City. Hal ini untuk memastikan bahwa
mereka tidak mati sia-sia.
Link: www.labourstartcampaigns.net/show_campaign.cgi?c=1887
Education & Reference 
Guide your search for hotels

Berkas Kasus Buruh Panci Mandeg di Kepolisian

TEMPO.CO, Tangerang – Memasuki bulan ketiga
penyidikan kasus perbudakan buruh panci, berkas kasus itu
belum juga berpindah dari Kepolisian Resor Tangerang ke
Kejaksaan Negeri Tangerang. Jaksa penuntut umum kasus
ini, Marcos, menunggu pelimpahan tahap dua berkas dan
tersangka dari kepolisian. “Kami masih menunggu.
Sebelumnya berkas kami beri catatan untuk
disempurnakan,” kata Marcos, Jumat, 12 Juli 2013.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang,
Komisaris Siswo Yuwono, mengatakan mereka masih
menyempurnaan berkas perkara. “Kami masih
menyelesaikan petunjuk jaksa. Nanti kami kabari,” ujarnya
saat ditanyai soal ini. (Baca juga: Ini Motif Perbudakan
Buruh Panci di Tangerang)
Sebelumnya,  polisi mengenakan enam pasal pada bos
pabrik panci CV Cahaya Logam, Yuki Irawan, 41 tahun, dan
empat mandornya: Tedi Sukarno (35), Sudirman (34),
Nurdin alias Umar (25), dan Jaya (30) Selain tindak pidana
penganiayaan, merampas kemerdekaan orang,
perdagangan manusia, dan penggelapan, mereka juga
dianggap melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
Perlindungan Anak.
Pelimpahan pertama dilakukan polisi pertengahan Juni.
Namun, Kejaksaan mengembalikan berkasnya. Kejaksaan
sendiri menyiapkan delapan jaksa penuntut umum untuk
kasus ini.
Julian Jaya, kuasa hukum tersangka empat mandor, juga
menyatakan menunggu untuk mengambil langkah
selanjutnya. “Kami menunggu pelimpahan berkas,” kata
Julian.
Pada 3 Mei lalu, polisi menemukan produsen aluminium
balok dan panci yang sudah beroperasi selama 1,5 tahun
itu menyekap 34 buruh. Sebagian besar dari mereka
diperlakukan seperti budak -pakaian kumal, menderita
penyakit kulit, dan kelopak mata gelap. Selama berbulan-
bulan disekap, mereka tidak digaji.
Yuki menyita barang pribadi buruh seperti dompet dan
telepon genggam mereka. Sedangkan untuk tidur, mereka
rebahan di atas tikar, dalam ruangan gelap, lembab,
tertutup seluas 8 x 6 meter.
Penyekapan baru terkuak setelah dua buruh, Andi
Gunawan, 20 tahun, dan Junaidi, 22 tahun, melarikan diri
pada 22 April 2013. Sesampai di kampung halamannya di
Bambangan, Lampung Utara, Junaidi melaporkan
penyekapan kepada Sobri, kepala desa setempat.

Kansas protests hit right-wing billionaires

Education & Reference

By Workers World staff

A rainbow of working people from across
Kansas boldly confronted the extreme right-
wing Americans for Prosperity group at its two
locations in Topeka and Wichita on July 10 in
90-degree heat. In both locations, protesters
unfurled colorful banners and signs that
renamed the AFP the “Americans for
Austerity.”
AFP is funded by the infamous billionaire
brothers, Charles and David Koch, and other
Wall Street interests such as the MacIver
Institute and the Lynde and Harry Bradley
Foundation. The Koch brothers are following in
the political footsteps of their anti-communist
father, Fred C. Koch, who co-founded the John
Birch Society.
Chanting “They say cut back, we say fight
back,” “Hands off our children,” “Hands off our
pensions,” “Hands off women” and other
slogans, over 150 participants from across
northeastern and central Kansas protested in
Topeka. The diverse crowd of many ages,
genders, sexualities, disabilities and
nationalities made clear their fightback spirit,
taking up two sides of the street right in front
of the AFP office on the city’s main boulevard
with their banners, signs and bullhorn. They
received numerous honks of support from cars
passing by.
In Wichita, about 30 protesters gave the AFP
office there a similar reception.
The July 10 actions received widespread media
coverage before, during and after the events.
The protesters forced AFP to respond, which
they did with a derisive anti-worker, anti-
community statement that praised the Jim
Crow, right-to-work-for-less wage slave law in
Kansas.
On the same day the AFP protests took place,
ultra-rightist Charles Koch launched one of his
new campaigns, which includes a demand to
eliminate the minimum wage.
AFP’s goals include union busting,
deregulation and privatization. According to
environment-friendly organizations such as
the Sierra Club, the Koch brothers, through
their oil and gas industries, continue to
engage in wanton environmental destruction.
AFP money is behind politicians like Wisconsin
Gov. Scott Walker, North Carolina Gov. Pat
McCrory and that state’s Budget Director Art
Pope.
AFP money, along with that of other right-wing
organizations such as the American Legislative
Exchange Council (ALEC), has bought virtually
every Kansas politician in the current
legislature. This resulted in the 2013 session
being one of the worst anti-worker, anti-
community legislative sessions in Kansas
history.
But as July 10 showed, there is a progressive
current in Kansas. More and more working
people are starting to fight back in their own
interests, especially in response to ever
deeper austerity pushed by Wall Street fronts
like the AFP.
Thirty-four labor and community organizations
endorsed the July 10 actions. These included
the Bail Out the People Movement, Kansas
AFL-CIO, the Topeka Federation of Labor, the
American Federation of Teachers, Lawrence
and Manhattan, Peace & Justice groups, the
LGBTQ Kansas Equality Coalition-Topeka
Chapter, Kansas National Organization for
Women, the Sierra Club and the Working
Kansas Alliance.


link:www.workers.org/2013/07/18/kansas-protests-hit-right-wing-billionaires/

Education & Reference

Friday 19 July 2013

Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THR

Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THR


Sumber : HukumOnline
Pada peraturannya, THR kan harus dibayar 7 hari sebelum lebaran. Jika perusahaan melakukan penundaan atau bahkan mungkin tidak mau membayarkan THR kepada karyawan, apakah hal tersebut termasuk PMH? Kemudian, apakah kita bisa melakukan gugatan? Jika bisa, bagaimana caranya?

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”), adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
Menurut Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994, pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. Jadi, jika pekerja dalam pertanyaan Anda telah bekerja selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, ia berhak atas THR.
Memang benar apa yang Anda katakan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenaker 4/1994, pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Namun, perlu dilihat lagi apakah penundaan pembayaran THR itu dilakukan oleh pengusaha karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak mampu membayar THR atau tidak.
Berdasarkan Pasal 7 Permenaker 4/1994, pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan yang harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
Tapi, bila ternyata pengusaha tidak mengajukan permohonan seperti disebutkan di atas dan pengusaha tetap tidak membayarkan THR, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permenaker 4/1994,hal tersebut merupakan pelanggaran dan pengusaha dapat diancam dengan hukuman kurungan dan denda.
Selain itu, karena THR merupakan hak pekerja, maka pelanggaran atas hak THR tersebut dinamakan perselisihan hak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”):
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaanpelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Langkah pertama yang dapat Anda tempuh adalah dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan antara Anda dengan pengusaha, yang disebut dengan penyelesaian secara bipartit. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI.
Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (lihat Pasal 1 angka 11 UU PPHI), salah satu penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi adalah masalah perselisihan hak yang tadi kami sebutkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1). Jika mediasi masih gagal atau tidak mencapai kesepakatan pekerja bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.
Jadi, pada dasarnya penyelesaian perselisihan atara pengusaha dan pekerja mengenai pembayaran THR ini menurut hemat kami tidak tepat jika diajukan gugatan ke pengadilan umum atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) seperti yang Anda sebutkan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. 


Masalah Besaran THR dan Pemotongan Gaji Karena Cuti Bersama

sumber hukum online


Salam sejahtera! Ada beberapa
pertanyaan yang ingin saya
sampaikan: 1. Pada waktu lebaran
kemarin kami menerima THR tidak
seperti tahun-tahun sebelumnya
yang besarannya satu bulan gaji
full, padahal saat hari raya umat
lain yang masih dalam satu tahun
mereka mendapat THR full 1 bulan
gaji. 2. Pada saat cuti bersama
lebaran Idul Fitri, gaji kami
dipotong sesuai lama libur cuti
bersama. Langkah apa yang harus
kita lakukan untuk mengatasi
masalah tersebut? Terima kasih.
Jawaban:
Kami akan menjawab pertanyaan Anda
satu persatu sebagai berikut:
1. Mengenai Tunjangan Hari Raya
(“THR”) telah diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia No. PER-04/
MEN/1994 Tahun 1994 tentang
Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Bagi Pekerja Di Perusahaan
(“Permenaker 4/1994”). Pada
dasarnya dalam Pasal 3 ayat (1)
Permenaker 4/1994 dikatakan bahwa
besarnya THR adalah sebagai berikut:
a. Pekerja yang telah
mempunyai masa kerja 12
bulan secara terus menerus
atau lebih sebesar 1 (satu)
bulan upah;
b. Pekerja yang telah
mempunyai masa kerja 3
bulan secara terus menerus
tetapi kurang dari 12 bulan
diberikan secara
proporsional dengan masa
kerja yakni dengan
perhitungan: Masa kerja x 1
(satu) bulan upah.
Upah satu bulan yang dimaksud
adalah upah pokok ditambah
tunjangan-tunjangan tetap (Pasal 3
ayat [2] Permenaker 4/1994).
Akan tetapi, perusahaan dapat
mengatur besarnya nilai THR
berbeda dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 3 ayat (1)
Permenaker 4/1994. Dalam Pasal 3
ayat (3) Permenaker 4/1994, diatur
bahwa perusahaan dapat
menentukan nilai THR dalam
Kesepakatan Kerja (KK), atau
Peraturan Perusahaan (PP) atau
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
dengan ketentuan bahwa nilai THR
yang ditentukan oleh perusahaan
tersebut lebih besar dari nilai THR
yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
Permenaker 4/1994.
Jadi, pada dasarnya jika pekerja
tersebut telah bekerja minimal
selama 12 (dua belas) bulan selama
terus menerus di perusahaan
tersebut, maka pekerja berhak atas
THR sebesar 1 (satu) bulan upah.
Mengenai langkah hukum apa yang
dapat ditempuh, sebagaimana
pernah dibahas dalam artikel yang
berjudul Langkah Hukum Jika THR
Tidak Dibayar Penuh, jika memang
ada pelanggaran terhadap ketentuan
pembayaran THR ini, Anda dapat
melaporkannya ke pegawai pengawas
ketenagakerjaan di Disnaker
setempat (Pasal 9 ayat [1]
Permenaker 4/1994) karena THR
merupakan hak Anda sebagai
pekerja.
Lebih lanjut dikatakan bahwa
pelanggaran pengusaha dengan tidak
membayarkan THR sesuai ketentuan
yang berlaku dapat dikenakan pidana
sesuai Pasal 8 Permenaker 4/1994
yakni berupa kurungan dan denda.
Jadi, jika terjadi pelanggaran dalam
hal pembayaran THR, Anda dapat
melaporkan ke pegawai pengawas
ketenagakerjaan setempat.
Selain itu, pekerja yang dirugikan
karena THR-nya tak dibayar secara
penuh dapat menempuh upaya
secara keperdataan. Yaitu dimulai
dengan perundingan bipartit,
kemudian mediasi di dinas
ketenagakerjaan setempat hingga
pengajuan gugatan perselisihan hak
ke pengadilan hubungan industrial.
Selengkapnya mengenai
penyelesaian perselisihan hak, dapat
Anda lihat dalam artikel yang
berjudul Langkah Hukum Jika
Pengusaha Tidak Bayar Upah.
2. Pada umumnya, pelaksanaan cuti
bersama adalah memotong cuti
tahunan. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam Poin ke-4 Keputusan
Bersama Menteri Agama, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia No. 5 Tahun
2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2
Tahun 2012 tentang Hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun
2013.
Karena cuti bersama dipotong dari
cuti tahunan pekerja, maka
pengusaha tidak dapat memotong gaji
pekerja terkait dengan cuti bersama.
Ini karena berdasarkan Pasal 93 ayat
(2) huruf g Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”), pengusaha wajib
membayar upah pekerja saat pekerja
melaksanakan hak istirahat. Yang
dimaksud dengan hak istirahat
adalah waktu istirahat dan cuti
sebagaimana terdapat dalam Pasal 79
UU Ketenagakerjaan.
Jika pengusaha melanggar ketentuan
dalam Pasal 93 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan, berdasarkan Pasal
186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
pengusaha dapat dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
Dalam hal ini maka yang terjadi
adalah adanya perselisihan antara
Anda dengan pengusaha mengenai
gaji/upah. Perselisihan mengenai
gaji/upah adalah perselisihan hak
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Mengenai langkah hukum yang dapat
Anda lakukan terkait perselisihan
hak, Anda dapat membaca artikel
Scientia Afifah, S.H. yang berjudul
Langkah Hukum Jika Pengusaha
Tidak Bayar Upah.

BNP2TKI senang Arab Saudi bikin UU PRT

sumber: merdeka.com

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memberikan apresiasi kepada pemerintah Arab Saudi yang telah membuat undang-undang perlindungan tenaga kerja informal. Adanya undang-undang yang dibuat pemerintah Arab Saudi tersebut merupakan langkah maju yang patut disambut positif.

"Saat ini, Arab Saudi sudah membuat undang-undang perlindungan tenaga kerja, saya rasa itu kita sambut positif karena akhirnya Saudi punya undang-undang PRT (pembantu rumah tangga)," kata Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat di Purwokerto, Kamis (18/7).

Kondisi itu, katanya, menguntungkan proses kerja, baik bagi TKI maupun yang mempekerjakan karena semuanya punya kepastian. Dia mencontohkan setiap tenaga kerja harus punya waktu istirahat sedikitnya sembilan jam dalam satu hari.

"Ini suatu keputusan yang sudah bagus dibandingkan sebelumnya. Jadi, kita sambut baik dan MoU (nota kesepahaman) antara Indonesia dengan Arab Saudi tentunya akan mempertimbangkan setiap aturan yang dibuat," kata Jumhur.

Keberadaan undang-undang tersebut, kata dia, memungkinkan pengiriman TKI ke Arab Saudi semakin terbuka kembali, meskipun masih harus menunggu beberapa pertemuan. Dia menilai, kebijakan yang diambil pemerintah Arab Saudi, sambungnya, berkebalikan dengan di dalam negeri.

Diakuinya, Arab Saudi lebih maju dalam urusan undang-undang tenaga kerja domestik karena harus melindungi banyak buruh migran yang bekerja pada sektor lokal di negara itu. Dengan adanya UU tersebut, kata dia, berarti negara ikut campur dalam urusan tenaga kerja asing.

"Selama puluhan tahun, pemerintah Arab Saudi tidak pernah turut campur dalam urusan tenaga kerja asing karena hal itu dianggap 'private to private'. Dengan keberadaan undang-undang tersebut, tiap orang di Arab Saudi terikat oleh aturan itu," katanya.

Lindungi Buruh Migran, 14 Lembaga Lakukan Penelitian Berdasar KIP

sumber:RMOL.

RMOL. 14 Lembaga Non Government Organization (NGO) berbasis di Indonesia dan Hongkong melakukan permintaan informasi publik ke beberapa lembaga negara dan dinas di daerah yang berkaitan dengan buruh migran Indonesia. Diharapkan, informasi penting ini bisa dijadikan rujukan untuk melindungi Buruh Migran Indonesia (BMI) di masa mendatang.

Peneliti Infest Yogyakarta, M Irsyadul Ibad mengatakan buruh migran mestinya menjadi pihak yang paling berhak untuk mendapat informasi penting mengenai kebijakan dan fakta yang ada. Namun karena informasi ini hanya menjadi konsumsi terbatas, informasi ini tidak sampai kepada buruh migran.

"Kami mencoba meminta informasi kepada lembaga-lembaga publik terkait buruh migran. Selanjutnya akan dianalisa. Dari analisa ini tim akan membuat buku yang diharapkan bisa berkontribusi terhadap perlindungan buruh migran," katanya di sela Lokakarya Keterbukaan Informasi Publik Buruh Migran, di Yogyakarta, Minggu (7/7).

Irsyadul Ibad menambahkan, 14 lembaga yang terlibat dalam permintaan informasi berbagi tugas jenis informasi. Informasi berasal dari pusat (kemmentrian) dan dinas-dinas yang berada di daerah.

"Beberapa kementerian yang kita minta informasinya adalah Kemenlu, Kemenakertrans, BNP2TKI, Imigrasi, DPR RI dan Presiden RI. Sedangkan di daerah ada Dinsosnakertrans dan beberapa dinas lain seperti Dinas Pendidikan, Dishubkominfo, DPRD, dan lain sebagainya," jelasnya.

Sementara, peneliti KIP Lembaga Seruni Banyumas, Jawa Tengah Suswoyo mengatakan, dalam penelitian ini berkonsentrasi pada isu asuransi buruh migran. Persoalan asuransi ini banyak menjadi masalah buruh migran yang mengalami kecelakaan atau kematian.

"Seringkali asuransi tidak dibayarkan," ujar Suswoyo.

Seruni Banyumas meminta informasi kepada Kemenakertrans dan Dinsosnakertrans. Kemenakertrans hingga saat ini belum memberi jawaban. Sedangkan Dinsosnakertrans Banyumas sudah memberikan informasi yang ditanyakan.[wid]



KSPI Minta Presiden Naikkan Upah Buruh 50 Persen


Education & Reference

sumber:RMOL

RMOL. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir juni lalu berdampak signifikan terhadap daya beli pekerja yang turun hingga 30 persen, kenaikan inflasi naik diatas 2 digit, dan pertumbuhan ekonomi yang turun di bawah 6 persen.

Demikian disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, kepada wartawan saat konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Sabtu (6/7).

"Maka, serikat pekerja menyatakan akan menuntut kenaikan UMP/UMK tahun 2014 sebesar 50 persen tahun ini, sebagai konsekuensi kenaikan BBM," kata dia.

Menurut Said, kenaikan UMP/UMK sebesar Rp 2,2 juta tahun 2013 menjadi sia-sia akibat kenaikan harga BBM. Upah buruh semakin tergerus seiring dengan naiknya harga sembako, transportasi dan sewa kontrakan.

"Kami tetap menolak BBM naik dan menuntut kenaikan 50 persen untuk UMP/UMK guna mengembalikan daya beli buruh," kata Said.

Said juga mendesak Kemenakertrans dan Jamsostek untuk menyelesaikan regulasi jaminan pensiun paling lambat Desember tahun ini.

Selain menuntut upah naik, Said kembali menegaskan menolak hasil Rakor Kemenkokesra yang telah memutuskan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 19.225 dengan jumlah penerima 86,4 juta orang. KSPI juga meminta presiden untuk merevisi PP No 101 tahun 2012 tentang PBI dan Pepres No 12 tahun 2013 tentang Jamkes.

"Jika tidak, maka KSPI akan menyiapkan aksi besar-besaran mulai bulan Agustus saat SBY membacakan nota keuangan RAPBN 2014 nanti," demikian Said.

Education & Reference

Apindo Larang THR Lebih dari Sebulan Gaji

Education & Reference

sumber: Kompas

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengatakan pihaknya melarang pengusaha/industri untuk membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) lebih dari sebulan gaji. Alasannya, hal itu akan meningkatkan biaya operasional perusahaan.
"Kalau soal THR, itu tidak ada soal. Kita sepakat akan membayar THR satu bulan gaji dan itu paling lambat seminggu (sebelum Lebaran) sudah kita bayar semua. Tapi tidak boleh lebih dari sebulan gaji," kata Sofyan selepas rapat koordinasi Fiskal, Pajak, Infrastruktur dan Tenaga Kerja di kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/7/2013).
Sofyan menambahkan, buruh di daerah banyak meminta ada pemberian THR lebih dari sekali gaji. Buruh beralasan kenaikan THR itu perlu dilakukan demi penyesuaian kenaikan harga BBM bersubsidi.
"Tapi saya anggap itu kasuistik, di satu tempat dan bukan untuk seluruh Indonesia. Toh, kita akan bayar, tidak ada masalah," jelasnya.
Dengan kondisi itu, pengusaha meminta agar saat rapat di dewan pengusaha nanti, pengusaha tidak mendapatkan pertanyaan karena menahan gaji buruh atau tidak memberikan THR sesuai keinginan buruh.

Menurutnya, pengusaha telah berupaya memberikan kompensasi terhadap usulan buruh. Harapannya, ada kestabilan soal aturan pemberian THR dari pengusaha ke buruh. "Apalagi ini di tahun politik, saya tidak mau (THR atau gaji) dipakai untuk berlebihan. Sedangkan kita saling butuh untuk pembangunan ke depan. Namun di situasi yang sulit ini, kita harus lebih bersatu baik dengan pemerintah maupun buruh," katanya.


Education & Reference


Facebook