Translate

Thursday 25 July 2013

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak

Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak
Saya karyawan kontrak yang sudah kurang lebih 6 tahun, tapi tiap setahun sekali perpanjangan kontrak, dan sesudah 2 tahun sekali libur 1 bulan. Bulan Mei lalu saya habis libur 1 bulan dan sudah masuk tanda tangan kontrak. Bagaimana dengan THR-nya? Mengingat masa kerja sudah 6 tahun meskipun tiap 2 tahun sekali diliburkan 1 bulan. Dan apakah menyalahi undang-undang sistem kontrak seperti itu? Terima kasih, mohon kejelasannya.

Sehubungan dengan permasalahan dan pertanyaan Saudara, saya mengawali dengan memberi komentar mengenai hubungan kerja Saudara sebagai “karyawan kontrak”, kemudian baru menjelaskan seputar hak Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) Saudara sekaligus menjelaskan ketentuan lain mengenai THR, sebagai berikut:
1. Ketentuan mengenai hubungan kerja melalui PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) -atau istilah Saudara, “karyawan kntrak”- merujuk pada Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003), bahwa PKWT atau “kontrak” hanya dapat dibuat (diperjanjikan) untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Ciri-cirinya, -antara lain- adalah:
a.    pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan
 
Ketentuan tersebut, dipertegas pada Pasal 59 ayat (2) UU No. 13/2003 dan penjelasannya bahwa PKWT tidak dapat diadakan (diperjanjikan) untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yakni pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu, dan merupakan bagian dari sutu proses produksi dalam suatu perusahaan; atau pekerjaan yang bukan musiman.
 
Terkait dengan masalah Saudara -yang katanya- sudah berlangsung selama 6 (enam) tahun yang setiap tahunnya diperpanjang dan sesudah 2 (dua) tahun sekali diliburkan selama 1 (satu) bulan, maka dapat saya jelaskan -dengan memberikan opini- bahwa:
-    jika Saudara dipekerjakan melalui PKWT dan -memang- untuk suatu pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka sah-sah saja Saudara di-”kontrak” melalui PKWT oleh -manajemen- perusahaan dan -diperjanjikan- setiap tahun (sesuai kebutuhan). Terlebih, jika jenis pekerjaanya memang selalu berganti atau berpindah tempatnya ataukah -memang- sifat pekerjaannya temporary (tidak tetap).
-    Namun demikian, jika -sebaliknya- suatu pekerjaan memenuhi syarat sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, akan tetapi Saudara dipekerjakan melalui PKWT, maka menurut Pasal 59 ayat (7) UU No.13/2003 demi hukum berubah menjadi PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Artinya hak-hak Saudara, baik pada saat masih dalam hubungan kerja (termasuk hak THR) maupun pada saat berakhirnya hubungan kerja (seperti hak “pesangon”) berhak diperoleh pada saat timbulnya hak-hak dimaksud. Dalam arti, THR Saudara bukan diberikan secara proporsional, akan tetapi seharusnya utuh 1 (satu) bulan gaji seperti layaknya pekerja/buruh permanen melalui PKWTT.
 
2. Mengenai hak THR, pada dasarnya -memang- merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik “karyawan kontrak” (PKWT), maupun terhadap PKWTT (permanen). Walaupun -memang- ada perbedaan mengenai timbulnya hak THR terkait dengan -jangka waktu- saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yakni:
a.    Bagi seorang pekerja/buruh yang di-hire melalui PKWTT dan terputus hubungan kerjanya (PHK*) terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir -masih- dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan (“hari H”), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun -sebaliknya- jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari -kalender-, maka hak atas THR dimaksud gugur.
b.    Sedangkan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui PKWT, walau “kontrak” hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari -kalender- sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak THR. Artinya, bagi PKWT, tidak ada -toleransi- ketentuan mengenai batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksud. Jadi bagi pekerja/buruh melalui PKWT, -hanya- berhak atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja –sekurang-kurangnya- sampai dengan pada “hari H” suatu Hari Raya Keagamaan -sesuai agama yang dianut- pekerja/buruh yang bersangkutan
(lihat Pasal 1 huruf d jo Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 6 ayat [2] jo ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, selanjutnya disebut “Permen-04/Men/1994”).
 
Sebagai tambahan penjelasan dan -mungkin- sekedar me-refresh kembali ingatan kita, bahwa putusnya hubungan kerja (PHK) melalui PKWTT, dapat terjadi karena alasan-alasan, sebagai berikut:
a)    PHK karena kehendak pengusaha, misalnya PHK karena perubahan status (spin off atau split off), merger/konsolidasi, restrukturisasi dalam hal akuisisi atau efisiensi akibat reorganisasi dan likuidasi.
b)    PHK karena kemauan pekerja/buruh, seperti pengunduran diri atas kemauan sendiri (resign);
c)    PHK karena putusan/“penetapan” pengadilan, sesuai dengan saat yang ditentukan dalam putusan atau penetapan (yang -telah- berkekuatan hukum tetap); atau
d)    PHK yang terjadi demi hukum (otomatis), misalnya pekerja/buruh mencapai batas usia pensiun, meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu -yang ditentukan dalam- perjanjian kerja (PKWTT) dimaksud.
 
Saat terjadinya PHK seperti tersebut itulah yang menjadi titik poin perhitungan lamanya 30 (tiga puluh) hari dimaksud sampai dengan “hari H” Hari Raya Keagamaan. Jika saat itu masih dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka yang bersangkutan -masih- berhak atas THR. Namun sebaliknya, jika lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, maka tidak ada hak THR bagi yang bersangkutan.
Dengan demikian, berkenaan dengan masalah Saudara -yang setiap tahunnya di-”kontrak” dan selalu diperpanjang dengan waktu yang sama, -sehingga komulatif 2 (dua) tahun- dan telah berlangsung selama 6 (enam) tahun, maka tentu adakalanya Saudara mendapat THR secara proporsional, dan adakalanya full (normal), namun adakalanya mungkin tidak memperoleh sama sekali.
-    Manakala “kontrak” hubungan kerja Saudara (di awal) baru berlangsung lebih dari 3 (tiga) bulan saat “hari H” pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara hanya berhak THR secara proporsional;
-    Akan tetapi, apabila “kontrak” hubungan kerja Saudara sudah berlangsung lebih dari 1 (satu) tahun (termasuk perpanjangannya), maka saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, tentu Saudara berhak atas THR secara full (penuh).
-    Namun jika “kontrak” Saudara pada tahun berikutnya tidak “ketemu” bersamaan atau tidak melampaui saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, maka Saudara sama sekali tidak berhak atas THR dimaksud.

3. Berkenaan dengan penjelasan tersebut di atas, masih ada beberapa ketentuan THR yang (mungkin) perlu atau penting untuk dipahami semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh atau “serikat” dan termasuk masyarakat umum), yakni:
a. Perhitungan besaran hak THR pada masing-masing pekerja/buruh, adalah sebagai berikut:
1)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun -tetapi telah lebih dari 3 (tiga) bulan-, diberikan secara proporsional dengan rumus: “Masa Kerja x 1(satu) bulan upah dibagi 12”. Dengan kata lain, 1/12 x upah x lamanya masa kerja dalam bulan (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat [1] huruf b Permen-04/Men/1994);
2)     bagi pekerja (buruh) dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih (hingga tak terhingga), -hanya- berhak 1 (satu) bulan upah (Pasal 2 ayat [1] jo Pasal 3 ayat (1) huruf a Permen-04/Men/1994).
b. Besaran nilai THR adalah 1 (satu) bulan gaji, yang (jika terdiri dari beberapa -item- komponen) meliputi upah pokok dan tunjangan tetap (vide Pasal 3 ayat [1] huruf a dan ayat [2] Permen-04/Men/1994).Namun dalam hal besarnya THR telah diatur dalam Perjanjian Kerja (PK) dan/atau Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama (PP/PKB) atau sesuai kebiasaan yang -nilainya- lebih besar dari nilai THR (secara normatif) sebagaimana tersebut di atas, maka THR yang dibayarkan adalah sesuai dengan PK dan/atau PP/PKB, atau kebiasaan yang telah dilakukan.
c.   Pembayaran THR dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum “hari H” pada Hari Raya Keagamaan dan pemberiannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja (buruh), yakni :
-     Hari Raya Idul Fitri, bagi pekerja (buruh) yang beragama Islam;
-     Hari Raya Natal, bagi pekerja (buruh) yang beragama Kristen Katholik dan Protestan;
-     Hari Raya Nyepi, bagi pekerja (buruh) yang beragama Hindu; dan
-     Hari Raya Waisak, bagi pekerja (buruh) yang beragama Budha.
-     Hari Raya Imlek bagi Khong Hu Chu,
kecuali ditentukan lain untuk diberikan pada suatu Hari Raya Keagamaan (agama) tertentu dengan tanpa hak untuk menuntut lagi pada Hari Raya Keagamaan lainnya (vide Pasal 4 ayat [2] jo ayat [1] Permen-04/Men/1994).
d. Bentuk atau wujud THR, berupa uang atau bentuk lain (natura), dengan ketentuan apabila diberikan dalam natura, tidak boleh berwujud minuman keras, obat-obatan/bahan obat-obatan. Dan nilai-(natura)-nya hanya maksimum 25% (dua puluh lima perseratus) dari nilai THR yang seharusnya diterima, dan diberikan bersamaan dengan pembayaran THR dalam bentuk uang (vide Pasal 5 jo Pasal 1 huruf d Permen-04/Men/1994).
e. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka (pada prinsipnya) pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru, -dengan ketentuan- pekerja (buruh) yang bersangkutan -memang- belum pernah mendapatkan THR dari perusahaan yang lama (vide Pasal 6 ayat [3] Permen-04/Men/1994).
f.   Jika kondisi perusahaan tidak mampu membayar THR (secara normatif), pengusaha dapat mengajukan permohonan penyimpangan -khususnya- besarnya jumlah THR –dengan menyampaikan permohonan- kepada Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial (“Dirjen”), dengan ketentuan permohonan diajukan (diterima) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum “hari H” Hari Raya Keagamaan terdekat. Setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan,Dirjen (akan) menetapkan besarnya jumlah THR.
 
Demikianlah jawaban, opini dan tambahan penjelasan dari saya, semoga dapat dipahami dan bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan

Books

No comments :

Post a Comment

Facebook